Mohon tunggu...
ivan adilla
ivan adilla Mohon Tunggu... Guru - Berbagi pandangan dan kesenangan.

Penulis yang menyenangi fotografi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaji Tangan dan Gaji Otak

16 April 2021   20:33 Diperbarui: 16 April 2021   20:43 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

***

Sesuai janji, Minggu sekitar jam 6 pagi aku datang ke rumah Pak Havids yang terletak di samping sekolah. Sebuah rumah panggung kayu yang sederhana. Kami berjalan kaki ke kampung sekitar. Dari Koto Baru kami mendaki ke Batu Palano, Batagak, Bukik Batabuah, Pasia, Padang Lua, Cingkariang, Kubang Putiah, dan Taluak. Sepanjang jalan kami mengamati kebun sayuran, berdialog dengan petani tentang harga komoditi yang mereka tanam. Kadang berhenti di warung untuk minum sambil mencari informasi. Di sebuah munggu dengan panorama indah di Cingkariang, kami istirahat untuk makan. Setelah itu melanjutkan perjalanan, mengamati proyek pembangunan jalan kampung, irigasi dan kadang bangunan tua sepanjang jalan. Tiap kali ada yang menarik dan penting, Pak Havids mencatatnya pada buku yang selalu dibawanya. Ia juga mencatat informasi yang didapat dari petani atau penduduk di warung. Sore hari kami sampai di Taluak, dan dari sana naik oplet ke Koto Baru.

Senin esoknya aku berkunjung ke ruang Pak Havids. Beliau terlihat sedang asyik menulis berita reportase dari perjalanan kami kemarin. Beliau menulis tentang hasil panen ubi dan sayuran yang melimpah, harga sayur yang menguntungkan petani hingga ekspor sayuran ke provinsi tetangga. Saat berkunjung pada hari berikutnya, saya melihat Pak Havids telah menyelesaikan laporan tentang tempat wisata potensial di nagari yang kami lalui. Saya kemudian mengetik semua tulisan itu, membaca sambil mengamati bagaimana membuat berita dan tulisan dari perjalanan.

 Beberapa minggu aku menemani Pak Havids ke berbagai tempat untuk mencari berita dan bahan tulisan. Pada minggu ketiga, kalau tak salah, saya mulai meniru cara kerja Pak Havids untuk mencatat dan menulis berita. Juga menulis cerita anak-anak. Setelah saya perlihatkan kepada Pak Havids, saya mengirimnya ke Harian Haluan.

Setiap dua hari selama tiga minggu saya mengirim berita, tapi tak satupun yang dimuat. Pada minggu keempat, cerita anak yang saya tulis dimuat. Judulnya, "Kisah Pohon Kelapa dan Bayam". Pemuatan cerita anak itu membuat saya senang sekali. Tentu juga bangga. Minggu-minggu berikutnya, tulisan tentang pariwisata dan artikel ringan juga dimuat.

Akan tetapi, berita yang saya buat dan kirim jarang sekali yang lolos untuk dimuat. Setelah memperhatikan berita-berita yang dimuat, akhirnya saya tahu bahwa berita saya bersaing dengan tulisan Pak Havids. Tentu saja berita yang saya tulis kalah telak! Saatnya menyusun strategi lain. Pada bulan ketiga, saya memutuskan untuk mengirim berita ke Harian Singgalang. Minggu kedua, di bulan yang sama, akhirnya berita pertama saya dimuat di Singgalang. Sejak itu, berita dan tulisan saya menghiasi halaman koran itu.

Untuk mengambil honorarium tulisan, saya tidak perlu ke Padang. Cukup berkunjung perwakilan Singgalang Bukittinggi di Kampung Cina, di Gedung Inkorba. Di sana saya bertemu wartawan senior. Salah satunya adalah Nusyirwan Damhoeri, anak dari sastrawan A. Damhoeri. Saya juga kadang berkunjung ke perwakilan Singgalang di Padangpanjang dekat Surau Jembatan Besi, yang dipimpin Uda  Syamsoedarman. Dari para senior itu saya belajar banyak tentang menulis berita dan laporan lainnya. Pertemuan dengan mereka selalu mencerahkan pikiran dan semangat untuk terus menulis. Untuk artikel dan cerita anak, Pak Havids tetap menjadi instruktur saya. Dengan sabar, Pak Havids menunjukkan kekurangan dan jalan keluar setiap kekurangan.

***

Sejak bekerja sambilan sebagai reporter dan penulis, aku menjadi senang dengan bidang bahasa dan sastra. Aku memilih untuk melanjutkan dalam bidang itu. Juga mengikuti berbagai kegiatan kesenian untuk mengamatinya. Semua itu terjadi setelah saya berjumpa Pak Havids, 'guru yang menyesatkan ke jalan yang benar'. Beliaulah yang menemukan bakat dan minat saya dalam bidang yang kini saya tekuni dan jalani.

Saya sedang studi S-2 saat Pak Havids meninggal dunia. Kami belum sempat bertemu sejak saya meninggalkan sekolah dekat telaga itu. Padahal saya ingin sekali bersua untuk mengkomfimasi pernyataannya; kerja otak dan otot memang memiliki nilai dan harga yang berbeda. Ah, Pak Havids tentu tak menjawab atau berkomentar. Paling-paling beliau hanya menyeringai dan bersenandung sambil mengetukkan jari ke meja tulis beralas kaca di laboratorium sekolah kami...

Yongin-si, Korea 14 Maret 2019; Depok, 10 November 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun