Mohon tunggu...
Ita Siregar
Ita Siregar Mohon Tunggu... Pengarang. Pemetik cerita. Tinggal di Balige.

Merindu langit dan bumi yang baru.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sipaha Lima: Upacara Pamelean Bolon

16 September 2025   17:32 Diperbarui: 16 September 2025   17:32 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kami tiba di Hutatinggi Laguboti (8/8/25) sekitar pukul sebelas. Beberapa kendaraan sudah parkir di rumah-rumah penduduk. Musik gondang sabangunan terdengar. Seorang warga mendekat, membantu kami parkir.

Kami berada di Pusat Perkumpulan Parmalim dan hari ini mereka merayakan upacara Pameleon Bolon Sipaha Lima. Upacara Besar Panen Raya. Saya sangat bersyukur, akhirnya dapat menghadiri acara yang sudah lima tahun ditunggu, untuk menghadirinya. Beruntung Bang Tansiswo mengingatkan saya dan Grace, dan kami dapat menghadirinya.

Bang Tansiswo sudah mengingatkan bahwa mengikuti upacara, kami mesti pakai sarung. Benar saja. Sebelum memasuki kompleks upacara, dua gadis penjaga tamu meminta kami mengisi buku acara, dan menulis alasan kami mengikuti acara. Di sana juga ada pernyataan bahwa pengunjung dilarang untuk mengambil gambar atau video tanpa izin. Dan bila ingin mempublikasikan tulisan dan gambar, diminta untuk izin terlebih dahulu.

Saya memandang rok panjang hitam saya, memang bentuknya seperti sarung. Tak cukup percaya diri, akhirnya kami setuju, meminjam sarung dari kedua gadis yang baik hati itu. Tak lupa mereka meminta kami melepas alas sepatu. Memasuki kompleks rumah ibadah, kami bertelanjang kaki.   

Kami melangkah memasuki lokasi Bale Pasogit. Tempat berbentuk segi empat di halaman rumah ibadah (antara Bale Pasogit Partonggoan dan Bale Parpitaan), semacam plaza atau tempat perayaan, di sanalah upacara akan dimulai. Di tengah-tengah, ada 3 buah semacam mezbah sembahyang yang disebut Langgatan, dengan hiasan daun muda dari pohon aren. Pada segi empat setiap Langgatan ditutupi kain putih kemudian hiasan beberapa tanaman dan bendera tiga warna: hitam, putih, merah. Di sebelah kanan mezbah (Langgatan) ada tempat pembakaran kemenyan atau daupa. Di satu sudutnya, para pemusik atau pargonsi gondang sabangunan. Pada sisi timur plaza (antara Bale Pasogit Partonggoan dan Bale Parpitaan), di atas tanah yang lebih tinggi, para perempuan bersarung duduk dalam tiga baris, berhadap-hadapan. Para pemudi membagikan nasi beserta lauk-pauk. Mereka bersiap makan.

Kami menuruni lantai semen melalui plaza dan duduk di dekat kelompok pemusik (pargonsi). Kami berkenalan dengan Maradop Manurung, yang bekerja di Kotacane, dan sengaja pulang kampung untuk ritual satu tahun sekali ini. Kami juga berkenalan dengan Ito Jaya Damanik, warga Parmalim yang juga salah satu presidium Dewan Musyawarah Pusat Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (DMP MLKI). Dari beliau kami dapat informasi sampai saat ini ada sekitar 153 organisasi kepercayaan di seluruh Indonesia dengan jumlah seluruh penghayat sekitar 12 juta orang. Jumlah ini sangat dinamis, tuturnya.

Sementara berbicara, kami melihat para perempuan di depan tempat tinggal sudah selesai makan. Mari ikut makan, kata Maradop. Kita akan mengikuti upacara sampai sore nanti, jadi perlu makan, katanya lagi.

Kami setuju. Kami pun mengikuti mereka, duduk bersama dalam tiga jalur, seperti para perempuan tadi (karena sekarang giliran para kaum bapak untuk makan siang). Kami terkesan dengan kerja para pemudi dan pemuda yang bekerja cepat. Mereka membagikan nasi, lalu lauk gulai daging kerbau, ikan arsik dan tumis sayur wortel. Satu ember kecil berisi air adalah untuk mencuci tangan. Setelah semua mendapat piring makan masing-masing, seorang memimpin doa. Doa singkat, yang ditutup dengan sambutan bersama, Nabonar Junjunganhu (yang artinya kami menjungjung kebenaran dan Yang Maha Benar).

Kami mulai makan. Suasana tertib dan tidak ada suara. Semua berjalan rapi. Kira-kira selesai makan, para pemuda kembali dengan ember besar. Piring-piring kotor diambil dan dimasukkan ke dalam ember hitam besar. Setelah itu alas duduk disapu dari kotoran.

Kalian bisa duduk di dekat pemusik itu, kata Ito Manurung. Kami pun duduk di sana.

Para lelaki mulai memasang terpal biru di sekitar mezbah (antara Bale Pasogit Partonggoan dan Bale Parpitaan). Para perempuan duduk di tempat yang sudah disediakan. Mereka mengenakan kebaya panjang beragam warna dengan ulos sampai dada, dan sarung. Setiap perempuan bersanggul, dengan jepit beragam model. Rapi dan tertib.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun