Mohon tunggu...
Ismail Wekke
Ismail Wekke Mohon Tunggu... Dosen - Warga Kota Sorong, Papua Barat

Membaca dengan bertualang untuk belajar mencintai Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tuduhan pada Pembakar Lahan Tidak Terbukti

28 Juni 2013   20:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:17 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1997, 2006 dan sekali lagi, 2013, kabut asap melanda Negara tetangga. Malaysia dan Singapura sampai harus menutup kantor pemerintahan, meliburkan sekolah dan juga mufti sampai berfatwa kalau kabut sampai pada tahap bahaya, maka boleh shalat jumat diqadha dengan shalat dhuhur.

Berkali-kali pula, media di Indonesia kalau kabut asap ini mengepung negara jiran, dengan enteng menyatakan pembakar lahan adalah juga perusahaan yang dimiliki Singapura dan Malaysia. Hanya saja, para editor lupa kalau ini tanah yang dikuasai negara berdaulat, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga siapapun pemilik lahan itu, maka tetap saja harus tunduk dan patuh pada aturan yang ada dalam wilayah Republik Indonesia.

Kalaupun kemudian yang menjadi berita utama bahwa pemilik lahan adalah perusahaan Malaysia dan Singapura, hanya saja kadang berita itu tidak berdasar sebuah fakta. Sebagai contoh tuduhan bahwa TH Plantations Berhad (THPB) sebuah perusahaan yang dibawah naungan Lembaga Tabung Haji Malaysia salah satu merupakan perusahaan yang melakukan pembakaran lahan. Hanya saja setelah diperiksa langsung oleh Kementerian Lingkungan R.I., lahan yang terbakar adalah berdekatan dengan lahan yang dikuasai THPB.

Saat pihak Kepolosian Negara RI juga mengunjungi lahan ini, tidak ada bukti pembakaran sama sekali. Sehingga dari pemberitaan bahwa ada delapan perusahaan asing yang membakar, THPB tidak masuk diantaranya. Ini menjadi sebuah pesan bahwa sesungguhnya apapun yang menjadi kendala dalam urusan kabut asap yang dikirim menyeberangi sempadan negara hendaknya menjadi urusan dalam negeri Indonesia. Boleh-boleh saja Presiden RI menyampaikan permohonan maaf, tetapi perlu melakukan tindakan bagi perusahaan yang melanggar aturan. Tidak cukup dengan permohonan maaf tetapi perlu memberikan contoh penegakan hukum.

Di masa depan, permohonan maaf tidak boleh dilakukan lagi. Tindakan yang harus dilakukan Pak SBY beserta dengan cabinet adalah memastikan tidak akan lagi ada kabut asap. Perlu dibuat suatu undang-undang mengenai ini. Jika terlalu lama, maka cukup dulu dengan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Sehingga urusan kesehatan, pendidikan dan juga harmoni diantara ketiga negara antara Indonesia, Malaysia dan Singapura tetap terjalin dengan baik.

Satu-satunya Negara di ASEAN yang tidak meratifikasi Perjanjian Pencemaran Udara Lintas-Batas(ATHP) hanya Indonesia sendiri. Ini menunjukkan tidak adany aiktikad baik diantara pemimpin Indonesia untuk turut dalam kerjasama ASEAN bagi menyiapkan suatu usaha pencegahan supaya kabut asap ini tidak terjadi lagi. Sebaliknya, apa yang dilakukan media, rakyat dan pemerintah Indonesia adalah dengan menuding orang lain sebagai penyebab. Lalu tidak memiliki kemampuan untuk bertindak cepat.

Kohesi sosial yang terjadi ini tidak layak muncul dalam hubungan antarbangsa. Sementara itu, penanganan yang dilakukan juga tidak terukur dan terencana. Akibatnya, jutaan orang harus menanggung sesak napas. Benar juga apa yang disampaikan Jusuf Kalla, bahwa Malaysia dan Singapura harus berterima kasih atas udara bersih yang dikirim selama sebelas bulan yang lain. Tetapi perlu diingat Pak JK bahwa sebenarnya Malaysia dan Singapura disamping mengeruk keuntungan banyak hal dari Indonesia, pada saat yang sama juga menanggung masalah dengan Indonesia. Karena sama-sama untung dan rugi, maka selayaknya urusan kabut asap ini ditangani dengan tulus. Tidak dibiarkan berulang secara terus menerus.

Bukan Malaysia dan Singapura sebagai bangsa yang mengalami kerugian dan kerusakan tetapi rakyat kecil juga yang bunting. Kalau hitung-hitungan saudagar, tentu Pak JK benar adanya. Tetapi ini bukan tentang dagang. Tetapi urusan terpaparnya penyakit kepada umat manusia. Kesempatan memperoleh pendidikan juga ikut terhalang akibat kabut asap ini. Pak JK dan Pak SBY mungkin tidak pernah marasakan, tetapi kami mahasiswa Indonesia di Malaysia juga turut libur ketika tragedi kabut asap 2006. Sementara 2013 ini, urusan juga ikut terkendala, akibat penutupan sekolah dan universitas yang ada.

1997, bahkan Malaysia mengirim tentaranya untuk ikut memadamkan kabut asap yang melanda negeri kita. Itu menunjukkan sesungguhnya ada ketulusan yang dimiliki di pihak Malaysia. Akhirnya, siapapun itu di tiga negara ini, maka urusan manusia ada di tangan ketiganya sebagai pemangku kepentingan. Putuskanlah yang terbaik, agar di masa datang tidak lagi terjadi hal seperti ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun