Mohon tunggu...
Isur Suryati
Isur Suryati Mohon Tunggu... Guru - Menulis adalah mental healing terbaik

Mengajar di SMPN 1 Sumedang, tertarik dengan dunia kepenulisan. Ibu dari tiga anak. Menerbitkan kumpulan cerita pendek berbahasa Sunda berjudul 'Mushap Beureum Ati' (Mushap Merah Hati) pada tahun 2021. Selalu bahagia, bugar dan berkelimpahan rejeki. Itulah motto rasa syukur saya setiap hari.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Apapun Alasan dan Motifnya, Korban Perang Selalu Warga Sipil

1 Maret 2022   21:40 Diperbarui: 1 Maret 2022   21:43 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi stop war | pexels.com/Jimmy Liao

Terasa ngeri dan prihatin mendengar kata 'perang' apalagi melihat gambar-gambar kerusakkan akibat perang dan korban yang berdarah-darah, luka, bahkan meninggal. Saya memilih untuk segera mematikan televisi, bila ada berita yang mengerikan seperti lakalantas, pembunuhan, dan peperangan. 

Bahkan, berita kelangkaan minyak goreng, tempe-tahu, sekarang gas elpiji, saya mengetahuinya, ya dari Kompasiana saja. Bukan dari media elektronik, karena semenjak pandemi, saya berhenti menonton dan membaca berita. Baik di televisi, maupun dalam berita online. Rasanya tidak sehat bagi mental, jiwa, dan raga. Menyaksikan berita yang berisi konflik dan masalah, membuat saya menjadi 'kepikiran', pusing, kepala berdenyut, mual, dan badan panas dingin. Padahal, saat ini kesehatan adalah harta yang paling berharga. Oleh karena itu, saya matikan televisi. Dengan begitu, saya merasa lebih sehat dengan tidak mengetahui kabar apa pun, apalagi tentang konflik, hingga peperangan.

Alasan terjadinya perang antara Rusia dan Ukraina

Namun, dalam artikel ini saya ingin menuliskan tentang perasaan dan opini saya tentang perang antara Russia dan Ukraina. Menurut beberapa sumber yang akhirnya -dengan terpaksa, saya baca. Dilansir dari liputan6.com, bahwa perang antara Russia dan Ukraina disebabkan oleh tiga hal yaitu, 

pertama, adanya dukungan dari Russia pada gerakan separatisme -gerakan memisahkan diri (mendirikan negara sendiri), pada negara-negara bekas Soviet. Russia mendukung para separatis di Semenanjung Krimea yang menjadi milik Ukraina. Lalu, akhir-akhir ini Putin sebagai presiden Rusia juga telah mengakui kedaulatan Donetsk dan Luhansk yang memisahkan diri menjadi negara merdeka dari Ukraina. 

ilustrasi serangan Rusia ke Ukraina |kompas.com
ilustrasi serangan Rusia ke Ukraina |kompas.com

Kedua, kejayaan masa lalu bahwa presiden Rusia, Vladimir Putin pernah menyampaikan sebuah retorika, beberapa hari sebelum menginvasi Ukraina. Bahwa Ukraina adalah bagian lama dari Rusia, Putin juga berkata, jika Rusia telah 'dicuri' ketika Soviet runtuh pada tahun 1991. Putin juga menuduh Ukraina sebagai 'koloni' AS.

Ketiga, Rusia sudah sejak lama tidak setuju, jika Ukraina bergabung ke dalam NATO, karena Rusia merasa khawatir NATO akan membawa persenjataan ke perbatasan Ukraina. Sehingga nantinya, kota-kota besar Rusia yang berbatasan dengan Ukraina akan menjadi sasaran yang mudah ditarget.

Akankah konflik Rusia-Ukraina menyebabkan perang dunia ke-3?

Telah menjadi pengetahuan publik, jika perang dunia sudah terjadi dua kali. Perang dunia adalah perang yang terjadi dalam skala besar, bukan hanya antara dua negara yang berkonflik, melainkan melibatkan sebagian besar negara di dunia. Jangkauan dari perang tersebut antar benua, hingga persekutuan militer. Hingga saat ini telah terjadi dua kali perang dunia. 

Perang dunia 1 (1914-1918) dilansir dari encyclopedia.ushmm.org, menjadi penanda terjadinya konflik besar pertama, berskala internasional, yang terjadi pada abad kedua puluh. Perang dunia 1 terjadi disebabkan oleh terbunuhnya Archduke Frans Ferdinand -pewaris mahkota Austro-Hongaria dan istrinya Archduches Sophie di Sarajevo, pada 28 Juni 1914. 

Perang ini melibatkan dua blok yang berkonflik, yaitu blok Entente/sekutu(Inggris, Perancis, Serbia, dan kekaisaran Rusia) lalu bergabung Italia, Yunani, Portugal, Rumania, dan Amerika Serikat. Melawan blok Sentral, Jerman, dan Austria-Hungaria, lalu bergabung Turki Ottoman dan Bulgaria. Perang dunia 1 dimenangkan oleh pihak sekutu. Dengan menangnya pihak sekutu, maka Jerman harus bertanggung jawab dan menanggung kerugian material yang sangat besar karena telah memulai perang. Ada trauma yang sangat membekas pada memori masyarakat dunia terkait perang dunia 1, yakni adanya holocaust -penganiayaan dan pembantaian sistematis yang dilakukan nazi Jerman di bawah pimpinan Adolf Hitler terhadap enam juta orang Yahudi Eropa.

Perang dunia 2 (1939-1945) adalah perang besar yang berlangsung di benua Eropa, benua Asia, serta beberapa kawasan di dunia. Perang ini terjadi karena Jerman memiliki keinginan untuk balas dendam atas perjanjian Versailles yang merugikan bagi Jerman, karena memaksa Jerman menyerahkan 13 persen wilayah kekuasaannya dan membatasi angkatan perangnya. Perang ini terdiri dari dua kubu, yaitu kubu pertama disebut sebagai axis (poros) yaitu Jerman, Italia, dan Jepang. Kubu kedua disebut allied (sekutu) terdiri dari Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Uni Soviet. Perang dunia 2 juga dimenangkan oleh blok sekutu yaitu Uni Soviet dan Amerika Serikat.

Pertanyaannya apakah konflik antara Rusia dan Ukraina yang terjadi saat ini akan menyebabkan terjadinya perang dunia 3? Maka, akan kita lihat negara mana saja yang mendukung Rusia, dan negara yang mendukung Ukraina. Dilansir dari kompas.com, bahwa ada 14 negara yang mendukung Ukraina, negara-negara tersebut adalah Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Perancis, Inggris, Belgia, Belanda, Republik Ceko, Italia, Portugal, Yunani, Romania, Spanyol, dan Israel. Negara-negara tersebut telah memberikan dukungannya berupa bantuan militer berupa senjata dan bantuan kemanusiaan. Ada 5 negara yang secara terbuka dan terang-terangan mendukung invasi Rusia ke Ukraina, negara-negara tersebut adalah Belarusia, Myanmar, Suriah, Venezuela, dan Kuba.

ilustrasi perang nuklir |sains.sindonews.com
ilustrasi perang nuklir |sains.sindonews.com

Masih menurut kompas.com, ada beberapa penjelasan para ahli yang menyebut bahwa konflik Rusia dan Ukraina dapat memicu terjadinya perang dunia 3. Hal ini dinyatakan oleh Dr.Ign. Agung Satyawan -Ahli Ekonomi dan Politik Universitas Sebelas Maret (UNS), dan Hikmawanto Juhana -Guru Besar Hukum Internasional UI. Kedua ahli tersebut mengatakan konflik antara Rusia dan Ukraina akan menyebabkan perang dunia 3, jika :

1. Konflik antara Rusia dan Ukraina menjadi tidak terkendali, jika konflik tersebut merembet ke negara lain. Apabila Rusia menjadikan wilayah Ukraina sebagai target serangan, NATO atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara akan merespon dengan cara perang head to head antara NATO dengan Rusia. 

2. Jika Rusia dengan NATO berperang, mereka diprediksi akan menggunakan senjata mutakhir pemusnah massal yang menjadi andalan yaitu senjata nuklir dan biologi. Tentu saja, kita semua tahu bagaimana dampak dari penggunaan senjata pemusnah massal tersebut bagi kehidupan di planet bumi ini. Bukan saja Rusia dan Ukraina yang akan terkena imbas dan bahayanya, tapi juga seluruh jagat raya. Karena, dampak dari penggunaan senjata pemusnah massal ini, akan meniadakan kehidupan planet bumi ini. Wah, ngeri, ya.

Korban perang, siapa saja?

Semua tentu saja tahu dan setuju, bahwa jawaban dari pertanyaan tersebut adalah sedikit dari kalangan militer (combatant) dan mayoritas warga sipil, termasuk anak-anak, perempuan, lanjut usia, dan orang sakit yang tidak dapat berlindung dan menyelamatkan diri. Mengapa mayoritas yang menjadi korban perang adalah warga sipil? karena kondisi fisik mereka lemah, tidak berdaya, tidak memiliki senjata, bahkan perempuan dan anak-anak sering mendapat perlakuan kasar dan tidak manusiawi dari pihak-pihak yang terlibat dalam konflik. 

Mengutip dari media.neliti.com, Dr. Jacob Kellenberger -Presiden Komite Palang Merah (ICRC), bahwa International Commitee of The Red Cross (ICRC) lebih banyak membantu para penduduk sipil yang menjadi korban perang daripada membantu tentara (combatant) dengan rasio 80:20. Hal ini menunjukkan bahwa korban perang dari kalangan sipil lebih banyak daripada korban perang dari golongan tentara. Oleh karena itu, ICRC menyatakan bahwa penduduk sipil terutama perempuan dan anak-anak adalah yang paling merasa dirugikan dan menderita saat terjadi perang. 

Sebagaimana telah kita ketahui bersama, konflik antara Rusia dan Ukraina sudah terjadi sejak tahun 2014, ketika Rusia menganeksasi (mengambil dengan paksa) wilayah Crimea. Berikut adalah data terkait jumlah korban akibat konflik Rusia-Ukraina.

ilustrasi makan tebu |alodokter.com
ilustrasi makan tebu |alodokter.com

Dari bagan di atas dapat dijelaskan, jika pada tahun 2014 merupakan jumlah korban paling banyak yaitu 4.378 jiwa. Menurun pada tahun 2015 menjadi 1.314 jiwa. Dari tahun 2016 hingga 2020, korban jiwa terus saja berjatuhan. Namun, jumlahnya mengalami penurunan. 

Tidak ada tebu yang kedua ujungnya manis

Melihat konflik antara Rusia dan Ukraina, saya jadi teringat akan filosofi pohon tebu. Bahwa jika kita memakan tebu, maka kita tidak akan menemukan manis dari kedua sisinya. Namun, hanya salahsatu saja yang akan mengeluarkan rasa manis, sedangkan ujungyang satu lagi akan hambar saja. Mengapa? karena rasa manisnya telah terhisap pada ujung yang satunya lagi. Begitu juga dengan semua hal yang ada di dunia ini. Termasuk perang, selalu mempunyai dua sisi, positif dan negatif. Ada manfaat dan mudhorot. Ada keuntungan dan kerugian.

ilustrasi makan tebu |alodokter.com
ilustrasi makan tebu |alodokter.com

Bagi kedua blok negara yang bersekutu, mungkin akan ada dampak positif yang mereka dapatkan. Terutama dalam hal kepuasan ego, merasa superior, apalagi jika mereka memenangkan perang tersebut. Selain dari dua hal tersebut, negara pemenang perang juga akan mendapat perluasan wilayah kekuasaan, prestise, penghargaan dari negara lain, dan akan dianggap sebagai negara yang berjaya.

Tapi, lihatlah di sisi yang satunya lagi. Dampak negatif dari peperangan lebih banyak, dahsyat, besar, dan berbahaya daripada dampak positifnya. Dilansir dari kompas.com berikut dampak negatif perang.

1. Negara harus membangun kembali negaranya yang rusak akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Akan banyak material, bahan, dan sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun kembali bangunan dan gedung-gedung yang hancur, serta fasilitas yang rusak.

2. Menang jadi arang, kalah jadi abu adalah peribahasa yang cocok untuk menggambarkan dampak negatif perang. Hal ini menandakan bahwa, kedua pihak yang berperang sama-sama menderita kerugian.

3. Banyak warga yang kehilangan pekerjaan, mata pencaharian, dan pendapatan akibat perang.

4. Populasi sipil banyak yang menjadi korban, baik meninggal, luka-luka, cacat, dan terkena penyakit.

5. Berjuta-juta warga kehilangan rumah dan menjadi tuna wisma, serta hidup dalam keadaan miskin dan serba kekurangan.

6. Pengeluaran negara tidak akan berhenti, meski perang sudah usai. Negara tetap harus membiayai perawatan terhadap warga yang cacat, biaya pensiun, pengobatan, pemulihan ekonomi, dan fasilitas-fasilitas sosial. Negara akan kembali di titik nol.

Nah, itulah beberapa dampak negatif perang. Apapun motif dan alasan di balik sebuah peperangan. Dampak negatifnya lebih banyak, ya. Dan, ya tentu saja dari semua dampak negatif tersebut. Korban yang paling menderita adalah warga sipil, yang tidak tahu menahu tentang masalah yang dihadapi oleh negaranya. So, jika masih bisa dimusyawarahkan, damai mungkin lebih baik, ya. (*)

#Konflik Rusia Ukraina

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun