Mohon tunggu...
Isti Yogiswandani
Isti Yogiswandani Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis buku Kidung Lereng Wilis(novel) dan Cowok Idola (Kumpulan cerpen remaja)

Suka traveling, dan kuliner.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Rinai Gerimis Senja

30 April 2020   05:16 Diperbarui: 16 Mei 2021   11:59 733
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hujan gerimis makan bakso hangat-hangat... 

Rinai gerimis senja menggelitik relung hatiku. Butiran gerimis bagai kristal yang berhamburan ke bumi. Memandang hujan selalu membuatku terhipnotis oleh perasaan aneh yang merayap ke dalam jiwaku. Romantiskah? Sendu? Damai? Tentram? 

Senja membayang gelap, melukis hitam wajah malam. Aku menggigil. Hawa dingin mencubit kulitku.  Pelan kutarik tirai yang membatasi kaca jendela, menutup pandangku akan hujan.

Memandang hujan selalu membuatku terhipnotis. Menawarkan selimut pada sukmaku yang kedinginan. Hujan? Kehangatan? Ah...rasaku pasti telah berkhianat. Ini semua pasti karena virus itu. Virus yang telah menjungkir balikkan semua. Manusia berubah menjadi zombie yang tak punya hati. Menjadi robot yang bergerak atas perintah remote kontrol. Sampai kapan hal ini akan terus terjadi?

Kutermangu. Akankah kemanusiaan ditaklukkan oleh rasionalitas dan logika? Tak ada lagi toleransi. Bahkan atas nama sesuatu yang hakiki. Semua karena virus itu. Virus yang tak mau kompromi, yang setiap saat berubah menjadi makhluk nano yang termutasi. Siap tak siap harus dihadapi. 

Suara adzan maghrib mengagetkanku. Di meja telah terhidang menu berbuka. Dua mangkok bakso buatanku, dua gelas teh hangat, dan sepiring tempe mendoan.

Sederhana, tapi cukup bagi kami untuk memulihkan tenaga dan segera bersiap menunaikan shalat maghrib.

"Aku ke masjid dulu, Dik. Assalamu'alaikum..., " suamiku berpamitan.

"Wa'alaikumsalam warahmatulloh..., iya Mas" aku bergegas mengambil air wudhu.

Rinai hujan tak lagi terdengar. Kututup mushaf al qur'an yang kusudahi bacaannya. Usai kucermati sejak  selepas shalat tharawih. Dari mushala di setiap RT, dan dari masjid besar terdengar lantunan tadarus. Menyampaikan untaian indah kalam illahi. Aku menunduk tafakur. Mencoba mencerna makna pesan religi yang masih samar kupahami. Tapi mungkin tanpa sadar telah kujalani, meresap dalam setiap penuntun sikap dan akhlak yang telah menyatu dalam nurani. 

Kegaduhan dunia mewarnai dunia maya. Perdebatan tiada ujung yang kadang reda sendiri. Antara anjing dan kucing, mudik dan pulang kampung, mengunggah menu berbuka dan jangan mengunggah menu berbuka, tetap tinggal di rumah dan tetap keluar mencari sesuap nasi pengganjal perut, dan lagi-lagi virus itu. Aku sudah tak ingin menyebut namanya. Sudah kelewat jenuh. Rasaku sudah mati. Hatiku terlanjur kebas mendengarnya. Kujalani apa yang diperintahkan meski simpang siur. Berita-berita mengerikan tentang keluarga yang meninggal karena tak bisa makan terpuruk tanpa penghasilan di rumahnya sendiri. Cerita-cerita pilu tentang korban virus ganas yang menyadarkan begitu dekatnya kematian. Setiap saat Izrail selalu siap melaksanakan tugasnya. Testimoni mengenaskan sekaligus membahagiakan yang bercampur dengan pesan kematian mewarnai dunia maya. Cerita-cerita epik para donatur dan relawan yang membawa tauladan tak mau kalah ambil peran. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun