Lebih dari 4.000 obor menebarkan cahaya di bumi Jakarta. Ribuan obor tersebut diarak ribuan jiwa, di sepanjang Jalan Muhammad Husni Thamrin. Semua penuh suka-cita, menyambut 1 Muharam yang bertepatan dengan hari Minggu (01/09/2019). Inilah momentum untuk menebarkan cahaya jiwa kepada sesama.
Spirit Toleransi JakartaÂ
Pawai obor elektrik di sepanjang Jalan Muhammad Husni Thamrin tersebut berlangsung pada Sabtu (31/08/2019) malam. Kita tahu, itu adalah kawasan Jakarta Pusat, yang menjadi jantungnya DKI Jakarta.Â
Kita juga tahu, Muhammad Husni Thamrin adalah sosok penting bagi Jakarta, yang kemudian namanya diabadikan sebagai nama jalan di jantung DKI Jakarta itu.
Muhammad Husni Thamrin lahir di Jakarta, pada 16 Februari 1894. Persisnya di Kampung Sawah Besar. Ketika itu, Jakarta bernama Batavia. Saat menginjak usia 25 tahun, ia berhasil masuk menjadi anggota Dewan Kota.Â
Sidang Dewan Kota pada 17 Oktober 1919 adalah sidang pertamanya selaku anggota dewan. Dan, Muhammad Husni Thamrin tercatat sebagai anggota termuda Dewan Kota.
Spirit Muhammad Husni Thamrin selaku orang muda memajukan Batavia, sudah sepatutnya menjadi inspirasi orang muda kini, dalam memajukan Jakarta.Â
Pada Sabtu (31/08/2019) malam itu, ribuan orang muda menebarkan cahaya dengan ribuan obor. Menurut saya, ini adalah momentum untuk memotivasi orang muda, agar menebarkan cahaya jiwa mereka untuk sesama.
Sebagai kota yang majemuk, Jakarta membutuhkan cahaya jiwa, agar toleransi tumbuh subur, agar kepedulian kepada sesama terwujud nyata di mana-mana.Â
Dalam hal ini, ribuan orang muda pembawa obor tersebut, sudah seharusnya berada di barisan terdepan. Sosok-sosok muda itu adalah bagian penting dari kemajuan Jakarta, supaya kota multikulturalisme ini menjadi kota yang semakin toleran kepada sesama.
Setelah pawai ribuan obor menyambut 1 Muharam pada Sabtu (31/08/2019) malam, esok paginya, pada Minggu (01/09/2019), warga Papua di Jakarta, menggelar acara Tari Yospan Massal.Â
Artinya apa? Itu menjadi salah satu penanda, bahwa keberadaan Jakarta sebagai kota multikulturalisme semakin kuat. Warga Jakarta juga warga yang berasal dari luar Jakarta merasa memiliki kota ini. Meski, mereka tidak lahir dan juga tidak besar di kota ini.Â
Rasa memiliki itu tak akan tumbuh, jika atmosfer kota ini tidak mendukung aktivitas mereka sehari-hari.
Tarian Yospan di Jantung Jakarta
Realitas pada Sabtu dan Minggu itu juga menjadi penanda bahwa toleransi antar warga di Jakarta, bukan hanya tercermin, tapi sudah terwujud nyata.Â
Tingkat kompetisi hidup yang tinggi di Jakarta, sesungguhnya bukan hal yang mudah untuk menyemai rasa toleransi di kalangan warga. Tapi nyatanya, di tengah ketidakmudahan tersebut masih ada ruang berbagi yang relatif mampu menenteramkan banyak pihak.
Kita tahu, sikap intoleran yang terjadi di Malang pada Kamis (15/08/2019) dan peristiwa intoleran di Surabaya pada Sabtu (17/08/2019), telah menjadi pemicu sejumlah peristiwa lain, di sejumlah wilayah tanah air.Â
Termasuk, di sejumlah wilayah di Papua dan Papua Barat. Semua itu telah menggerus rasa toleransi yang selama ini ada, serta turut pula menguras energi bangsa.
Hari Minggu (01/09/2019) ini adalah 1 Muharam yang merupakan Tahun Baru Hijriah, yang diperingati sebagai Tahun Baru Islam.Â
Lihatlah sepanjang Jalan Muhammad Husni Thamrin yang menjadi jantungnya DKI Jakarta. Sejak pagi, para penari yang berdandan khas Papua, melintasi jalan itu dengan penuh senyum. Langkah mereka tangkas sebagaimana umumnya warga Papua.
Mereka melambaikan tangan dengan riang dan tak lupa bergaya, ketika ada warga mengajak mereka ber-welfie-ria. Mereka bergerak ke depan panggung yang sudah disiapkan di salah satu bagian jalan itu.Â
Mereka mengajak warga lain untuk mendekat, untuk ikut menari. Semua menikmati keasyikan tersebut, bergabung mengikuti tarian. Mereka berbaur serta menari bersama.
Mengenakan hiasan kepala warna-warni, mengenakan kaus bertuliskan Papua Adalah Indonesia di bagian dada, para warga Papua dengan leluasa mengekspresikan diri.Â
Di bagian punggung kaus yang mereka kenakan, ada gambar burung cenderawasih. Sungguh kuat identitas mereka sebagai warga Papua. Sungguh meriah penampilan mereka pada hari yang bertepatan dengan 1 Muharam tersebut.
Menurut saya, memang demikianlah indahnya toleransi di Jakarta. Para pendatang tak harus menyembunyikan identitas kesukuan mereka. Juga, identitas agama mereka. Toh, Jakarta adalah kota yang terbuka bagi berbagai suku, agama, dan bangsa.Â
Di tengah beragam identitas itulah, kebersamaan dibangun bersama. Dan, Jalan Muhammad Husni Thamrin menjadi salah satu saksi berbagai proses keberagaman di Jakarta.
Mahkota dari Tokoh Papua
Apakah aktivitas warga Papua pada hari yang bertepatan dengan 1 Muharam tersebut, terusik? Dari pencermatan saya, tidak. Warga Papua dan warga Jakarta yang hadir di sepanjang Jalan Muhammad Husni Thamrin itu membaur serta berbaur. Terasa sekali, betapa Papua Adalah Indonesia dan Papua Adalah Kita.
Kebersamaan yang demikianlah yang patut kita jadikan inspirasi, untuk menyuburkan spirit toleransi kepada sesama. Untuk bersama merawat negeri ini. Dalam konteks toleransi, menurut saya, kontribusinya tidak bisa hanya bersumber dari satu pihak. Tapi, dari para pihak, dari banyak pihak.Â
Kesadaran para pihaklah yang membuat rasa toleransi tumbuh subur.
Di kota yang dihuni beragam latar-belakang seperti Jakarta, ya semua pihak sudah seharusnya memiliki kesadaran untuk saling bertoleransi. Kadar toleransi para pihak tersebut, tentulah berbeda.Â
Di sinilah perlunya proses. Proses kesadaran juga proses waktu. Nah, tokoh-tokoh para pihak tersebut, menurut saya, punya peran yang lebih, untuk menyemai rasa toleransi.
Baharudin Farawowan, mungkin bisa kita sebut sebagai salah satu contoh. Selaku tokoh warga Papua, ia memasangkan langsung mahkota khas Papua ke kepala sejumlah tokoh di Jakarta, pada Jumat (23/08/2019).Â
Baharudin Farawowan memasangkan mahkota ke kepala Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono, dan Pangdam Jaya/Jayakarta Mayjen Eko Margiyono.
"Saya menyematkan mahkota ini sebagai pesan rakyat Papua, bahwa Jakarta untuk kita semua dan kita semua untuk Jakarta. Dari Tanah Papua untuk Indonesia," ungkap Baharudin Farawowan sembari memasangkan mahkota Papua tersebut ke kepala Anies Baswedan. Saya pikir, pesan rakyat Papua tersebut, bukan hanya untuk ketiga tokoh itu. Tapi, untuk kita semua, yang sama-sama mencintai Indonesia.
Bagaimana dengan tokoh warga yang lain? Saya pikir, langkah inisiatif yang sudah ditempuh Baharudin Farawowan selaku tokoh warga Papua, bisa menjadi inspirasi tokoh warga yang lain.Â
Bukan hanya inspirasi untuk tokoh warga di Jakarta, tapi juga untuk tokoh warga yang berada di berbagai kota di Indonesia. Boleh dibilang, inisiatif sang tokoh warga, menjadi obor yang menebarkan cahaya, agar toleransi kian terasa di tiap denyut kehidupan.
isson khairul --dailyquest.data@gmail.com
Jakarta, 01 September 2019