Tak ada yang lebih menggembirakan selain melihat anak-anak tersenyum riang. Tak terkecuali anak-anak di bibir pantai Pulau Mansinam, Papua Barat saat berhamburan dalam kegembiraan demi menyambut kedatangan para relawan dari Papua Future Project setiap pekan.Â
Di tengah tawa dan pendar cahaya matahari yang memantul cerah, ada sosok Bhrisco Jordy Dudi Padatu--seorang pemuda asli Papua Barat yang memilih jalan sunyi tapi bermakna: menyalakan api literasi di tempat di mana huruf-huruf masih asing bagi sebagian besar anak-anak.Â
Nama diri penguat motivasiÂ
"Pernah ada satu anak yang sama sekali tidak bisa menulis," kenangnya.Â
Setelah beberapa waktu belajar, kata pertama yang dia tulis adalah nama Jordy. Saat itulah tangisnya pecah dalam keharuan. Betapa di balik satu nama yang tertulis di kertas lusuh, ada perjuangan panjang melawan buta huruf.Â
Bagi Jordy, setiap huruf yang berhasil diingat, setiap buku yang berhasil dibuka, adalah langkah menuju kemerdekaan sesungguhnya--kemerdekaan berpikir dan bermimpi. Kesadaran sederhana inilah yang mendorong lahirnya Papua Future Project (PFP), gerakan pendidikan akar rumput yang kini menjadi cahaya baru di tengah keterbatasan pulau-pulau kecil Papua Barat.Â
Diam-diam Jordy seolah mengamini ucapan kondang Nelson Mandela, "Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kau gunakan untuk mengubah dunia." Faktanya, pendidikan memang bisa menjadi paspor menuju perbaikan hidup dan kemakmuran.
Kesenjangan yang memprihatinkanÂ
Pulau Mansinam tampak indah dari kejauhan, dengan biru laut yang memesona dan hijau pepohonan yang menenangkan. Namun sebagai titik awal peradaban modern Papua, Mansinam ternyata menyimpan kesenjangan pendidikan yang memprihatinkan. Tak sedikit anak yang duduk di bangku kelas lima SD tetapi belum bisa membaca.Â
Data Badan Pusat Statistik tahun 2022 mencatat Papua masih memiliki angka buta huruf tertinggi di Indonesia, mencapai 21,17 persen untuk usia di atas 15 tahun. Namun bagi Jordy, data hanyalah puncak gunung es dari realitas yang jauh lebih kompleks.Â
Penyebab ketertinggalan itu nyatanya memang tidak sederhana. Selain kurangnya guru, tak jarang anak-anak mesti membantu orang tua mereka melaut yang menghalangi kesempatan mereka belajar. Fakta ini diperparah oleh orang tua yang juga buta huruf dan durasi mengajar guru yang cukup singkat (2-3 jam) sebab harus mengejar kapal penyeberangan yang jumlahnya terbatas.Â
Dengan luas 410 hektar, Mansinam hanya punya satu SD dan satu SMP. Kapal sekolah yang seharusnya menjadi sarana belajar sering kali berubah fungsi menjadi kapal pengangkut hasil tangkapan nelayan. Tak heran jika anak-anak tertunda pulang sampai sore demi menunggu kapal datang.