Mohon tunggu...
Isnaen Rachmat Al Hafidz
Isnaen Rachmat Al Hafidz Mohon Tunggu... Lainnya - Always On

Tidak usah terlalu banyak berimajinasi tentang mimpi anda tapi wujudkanlah!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengalaman Sosial Politik Warga Kerohanian Sapta Dharma dalam Prespektif Pluralisme Kewarganegaraan

13 Agustus 2020   18:49 Diperbarui: 13 Agustus 2020   18:50 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Awal kemunculan aliran ini ditandai dengan seseorang yang bernama Hardjosapuro menerima wahyu sujud pada tanggal 27 Desember 1952 di Pare, Kediri, Jawa Timur. Secara etimologi sendiri sapta yang mempunyai arti tujuh sedangkan dharma sendiri mempunyai arti sebuah kewajiban yang sifatnya suci. 

Beliau mengajarkan kepada para warganya agar melaksanakan ajaran yang sudah terkandung dalam wawarah tujuh. Inti dari ajaran tersebut adalah pendidikan budi pekerti yang menjadi sessuatu hal yang amat penting dalam KSD. KSD merupakan suatu aliran terbesar aliran kepercayaan di Indonesia yang telah memiliki lembaga yang mapan. Shapta Dharma sendiri menduduki peringkat pertama yang dibentuk dari tingkat pusat sampai desa terdapat aliran tersebut. 

Munculya aliran kepercayaan tadi membuat pemerintah membuat kebijakan yaitu pada tahun 2010 bergulir tentng wacana Rancangan Undang-Undang Kerukunan Umat Bergama. Spirit yang diusung RUU tersebut adalah UUD 1945 pasal 29 karena dalam konstitusi belum ada turunan undang-undangya. 

Menuut Kementrian Agama saat RUU KUB mempunyai maksud untu memberikan perlindungan kepada pemeluk suatu aliran keagamaan di luar enam agama yang diakui secara legitimasi oleh Negara. Terdapat 3 tipologi warga KSD dalam bermasyarakat dan bernegara. Pertama pengalaman dari warga KSD yang mengalami perllkuan diskrimintaif dalam berbagai bentuk, baik yangbdilakukan oleh pemerintah maupun oknum tertentu dilingkungan sekitarnya. 

Tipolog kedua yaitu pengalaman negosisasi oleh salah satu warga KSD. Proses negosiasi disini perihal kepentinga warga yang berbeda dengan Negara, yakni keinginan warga untuk bisa eksis dengan identitasnya, namum ketika menunjukan identitasnya mereka akan terhambat dalam memcari sebuah pekerjaan. Tipologi ketiga adalah pengalaman sinkretik warga

Okeyy dalam fenomena tersebut dapat dilihat dalam kaca mata dua tokoh sosilogo ternama yang prespektifnya selalu bertentangan. Terlebih dahulu saya menggunakan prespektif dari Emile Durkheim. Kita semua tahu bahwasannya Negara Indonesia mempunyai ideologi pancasila. Dalam sila pertama pun sudah nampak jelas tertulis Ketuhanan Yang Maha Esa. 

Sila pertama mempunyai maskud bahwa setiap individu warga Negara harus mempercayai bahwa keberadaan tuhan ada dan menyembah kepadanya. Jika kita menengok tentang aliran keagaman shapta dharma dalam prespektife Emile Durkheim itu tidak menyalahi aturan, karena mereka melakukan kegiatan keagamaan dan menyembah kepada tuhan. 

Akan tetapi cara mereka meyembah dam melakukan acara keagamaan berbeda dengan khlayakak umum yang kita ketahui. Kegiatan yang dilakukan shapta dharma sebenernya bisa berjalan dengan semestinya jika menganut prespektif dari tokoh sosiologi Emile Durkheim. Sekarang kita beralih ke tokoh sosilogi selanjutnya yaitu Karl Max. Jika dalam kaca mata Karl Marx dalam menganalisis fenomena ini terjadi sebuah konflik. P

emerintah yang mempunyai kewengan yang istimewa dalam membuat sebuah kebijakan yang akhinya tertuli hitam diatas putih yang saya maksud adalah hokum yang sah tertulis pada UU. Saya menganalisis ini bukan mengarah pada pernyataan Karl Marx bahwasannya agama itu candu. 

Akan tetapi bisa saja jika mau mengambil pernyataan tersebut. Saya lebih mengambil tentang masalah legitimasi dari Negara Indonesia perihal aliran shapta dhrama. Kita semua pasti tahu bahwasannya agama yang diakui di Indonesia itu ada enam agama. Sehingga membuat masyarakat beranggapan tidak terdapat agama lagi selain enam agama yang mereka ketahui. Akan tetapi faktanya sangat banyak sekali ajaran agama yang secaraa hokum tidak diakui. 

Jika masyarakat tahu sebagai contoh shapta dhrama yang secara hokum tidak diakui. Dalam benak masyarakat itu dapat memunculkan sebuah konflik dikarenakan mereka takut ajaran tersebut menyimpang dan lain sebaginnya. Seandainya shapta dharma itu diakui sah secara hokum oleh Negara maka tidak akan terjadi konflik antara masyarakat dengan aliran shapta dharma ini. Menurut saya hokum bisa juga dikatakan candu bagi masyarakat. Semua masyarakat terikat dengan hokum yang ada. Kalo salah mohon dikoreksi ya bu hehe. Kalo saya sendiri lebih condong ke Karl Marx hehe

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun