[caption id="attachment_81376" align="alignleft" width="300" caption="diimaazazza.blogspot.com"][/caption] Partai Demokrat sudah sampai taraf "neg", melihat tingkah polah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Maka tak heran jika mereka menganjurkan PKS untuk menarik diri dari koalisi partai pendukung pemerintah. PKS ibarat slilit yang nyempil pada gigi yang membuat tak nyaman mulut kita. Hanya segelintir orang yang membiarkan slilit tetap bertengger di giginya dan berharap slilit itu keluar dengan sendirinya atau dengan sukarela. Yang normal adalah mengambil tusuk gigi untuk mengeluarkan silit tersebut. Dalam dunia politik dikenal "tak ada teman atau lawan yang abadi. Yang abadi hanyalah kepentingan belaka. Bahkan oleh mereka yang sudah bernafsu dengan syahwat kekuasaan, jabatan, agama-pun bisa dijadikan sarana untuk kepentingan sesaat untuk meraih ambisi politiknya. Jika kepentingan politiknya telah tergapai, agama-pun ditaruh dalam entah dimana dan akan dicari dan digunakan lagi saat diperlukan dukungannya. Bagi mereka agama telah diperjuangkan, jika aturan formal agama telah menang untuk diundangkan. Agama menjadi sekedar "baju seragam", bukan menjadi pemandu untuk berperilaku. Maka penerimaan komisi dari seseorang atau perusahaan yang dimenangkan dalam proses tender pengadaan jasa dan barang disebut dengan mahar. Penerimaan donasi bagi partai bisa disebut dengan infaq atau bantuan yang tidak mengikat. Lha yang keblinger kadang-kadang donasi buat partai lebih besar dari zakat yang ditunaikan sebagai kewajiban seorang muslim bahkan lebih besar dari pajak yang seharusnya dibayarkan ke kas negara. Lalu apa yang membedakan antara partai politik yang berbasis agama dengan partai politik yang disebut sekuler. Kalau yang dikejar hanya politik kekuasaan, bagaimanapun cara yang digunakan. Padahal dalam kaidah agama (Islam) sudah jelas " tolong-menolonglah dalam kebaikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan". Yang banyak kita lihat adalah jika suatu kasus menimpa lawan politik, maka mereka menggunakan kaidah itu. Tetapi jika teman sendiri yang terlibat, maka pura-pura tidak mengetahui kaidah tersebut diatas. Partai bukan menjadi madrasah untuk memperbaiki kualitas diri dan masyarakat. Partai sudah menjadi kendaraan untuk meraih kekuasaan, baik itu berupa kursi ketua DPR, kursi menteri, kursi direksi-direksi BUMN, kursi bupati, kursi walikota. Dan jabatan yang sekiranya dapat memberikan manfaat yang nyata dan langsung yakni bertambahnya pundi-pundi pribadi dan partai. Apa dan bagaimanapun caranya. Maka koalisi dan kompromi menjadi suatu keharusan, selama itu baik dan menguntungkan buat para pemimpin dan kader partai. Bagaimana mau menjaga kebersihan baju koko putih yang dipakai, jika kita bergaul dan berdekatan dengan mereka yang berkubang dalam lumpur hitam nan kotor. Kecipratan lumpur menjadi hal yang biasa, dan tak menutup kemungkinan pada akhirnya kita harus ikut pula berkubang. Yang repot. Kita sering berteriak kesana-kemari tentang larangan bermain di kubangan berlumpur, tetapi kita terus berdekatan dan mendekati kubangan itu. Dan kita masih juga berpura-pura bahwa baju koko putih kita tidak terkena cipratan lumpur kubangan. Bermain politik itu ibarat kita bermain dengan orang-orang yang berkubang di lumpur. Tentu bukan suatu hal yang tidak bisa diperjuangkan jika kita mau bermain politik dengan bersih. Membutuhkan proses panjang dan puluhan tahun, bahkan bisa saja kita tidak menikmati hasilnya. Dan kita harus percaya akan sunnatulloh, bahwa kekuasaan pasti digilirkan. Kalau memang berpolitik hanya untuk kemenangan dan kesenangan sesaat dan jangka pendek, maka kelihaian kita untuk menyiasati dan mengambil langkah dalam game politik menjadi keharusan. Tetapi hanya kemenangan dan kesenangan itu yang kita raih. Tujuan kita untuk menggapai kemaslahatan ummat hanya menjadi pemanis belaka saat kampanye tiba.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI