Mohon tunggu...
Isharyanto Solo
Isharyanto Solo Mohon Tunggu... Penulis

Pencari Pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tata Kelola Kebijakan Parkir di Jakarta

22 Mei 2025   03:43 Diperbarui: 22 Mei 2025   03:43 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena parkir liar yang semakin masif di Jakarta bukan hanya masalah ketertiban lalu lintas atau pelanggaran administratif biasa. Ia telah menjelma menjadi simbol dari disfungsi tata kelola perkotaan yang mencerminkan lemahnya efektivitas kebijakan pemerintah daerah dalam mengatur ruang publik. Tidak seperti kota-kota lain di Indonesia yang mulai menunjukkan konsistensi dalam penataan perparkiran berbasis sistem pengawasan digital dan regulasi yang ketat, Jakarta masih tertinggal dalam hal kesinambungan penegakan hukum serta efektivitas kontrol lapangan.

Bahkan menurut laporan investigatif yang dipublikasikan oleh Harian Kompas pada 21 Mei 2025, penertiban parkir liar cenderung tidak bertahan lama karena lemahnya pengawasan berkelanjutan serta tidak adanya sinergi antarinstansi yang terlibat seperti Dinas Perhubungan, Satpol PP, dan kepolisian. Kompas mencatat bahwa para pelaku parkir liar kerap kembali menguasai area tertentu dalam hitungan hari setelah operasi penertiban dilakukan, menandakan tidak adanya sistem kebijakan yang berkelanjutan dan berbasis kontrol terstruktur (Kompas, 2025).

Dari sisi hukum dan perjanjian, relasi antara pemerintah daerah dan pihak ketiga yang mengelola parkir seringkali tidak memperhatikan prinsip kesetaraan dalam hak dan kewajiban. Yuliawati (2019) dalam artikelnya Penerapan Asas Kepatutan dalam Perjanjian Jasa Parkir yang Mengandung Klausula Eksonerasi menyoroti bagaimana pemerintah daerah justru membiarkan klausul yang mengurangi tanggung jawab hukum operator terhadap kerugian pengguna. Ketimpangan ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap publik serta buruknya desain hukum administrasi yang seharusnya menjamin akuntabilitas layanan publik (Yuliawati, 2019, Jurnal Pemberdayaan Hukum, Vol. 5, No. 2, hlm. 95--107).

Sementara itu, dari aspek kelembagaan dan teknologi, Setiawan et al. (2020) mengungkap bahwa sistem pengelolaan parkir berbasis elektronik yang diharapkan mampu meningkatkan transparansi dan pendapatan asli daerah justru menghadapi berbagai hambatan teknis dan operasional. Hambatan ini mencakup kurangnya infrastruktur pendukung, ketidaksiapan sumber daya manusia, serta lemahnya integrasi sistem monitoring. Akibatnya, sistem e-parkir tidak dapat berfungsi sebagai instrumen kontrol maupun sebagai alat optimalisasi PAD (Setiawan et al., 2020, Jurnal Teknik Informatika Politeknik Negeri Semarang, Vol. 8, No. 1, hlm. 22--28).

Perbandingan dengan kota-kota lain di Indonesia semakin memperjelas kelemahan Jakarta. Solok, sebuah kota kecil di Sumatra Barat, telah berhasil menerapkan sistem retribusi parkir yang transparan dan langsung dikelola pemerintah daerah. Menurut Elfira & Yusrita (2020), pendekatan ini memungkinkan peningkatan PAD sekaligus mengurangi ruang untuk manipulasi dan pungutan liar karena tidak sepenuhnya diserahkan kepada operator pihak ketiga (Elfira & Yusrita, 2020, Jurnal Ilmu Sosial dan Pemerintahan, Vol. 9, No. 2, hlm. 83--90).

Kota Semarang juga telah menunjukkan kebijakan parkir yang lebih terarah melalui pengaturan berbasis zonasi. Arfianto (2018) dalam studinya mencatat bahwa Semarang menerapkan sistem tarif progresif dan pengendalian durasi parkir untuk membatasi beban kendaraan di pusat kota, sekaligus mendorong penggunaan angkutan umum. Hal ini menunjukkan adanya keterpaduan antara kebijakan transportasi dan pengelolaan ruang publik yang belum terlihat di Jakarta (Arfianto, 2018, Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota UNDIP, Vol. 13, No. 2, hlm. 153--164).

Nampak bahwa pemerintah daerah  Jakarta dalam menangani parkir liar adalah hasil dari fragmentasi regulasi, minimnya desain kelembagaan yang adaptif, dan tidak adanya sistem evaluasi berbasis data spasial dan waktu nyata. Regulasi hukum yang tidak melindungi pengguna, teknologi yang tidak fungsional, serta absennya evaluasi berkala membuat sistem parkir di Jakarta, rentan dimanipulasi oleh kepentingan informal.

Solusi terhadap kegagalan ini tidak dapat bersifat parsial atau sektoral. Dibutuhkan reformulasi total dalam model kelembagaan pengelolaan parkir, mulai dari desain ulang kontrak dengan pihak ketiga, implementasi sistem pengawasan digital yang andal dan transparan, serta keterlibatan warga melalui kanal pelaporan yang terbuka dan dapat ditindaklanjuti. Pemerintah daerah juga harus mulai mencontoh pendekatan progresif dari kota lain di Indonesia yang telah berhasil membangun tata kelola parkir yang berbasis efisiensi, keadilan, dan transparansi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun