Jika dicermati, publikasi penelitian mengenai sejarah kesenian Jawa yang ditulis oleh pakar Barat ataupun pribumi, terjebak ke dalam paradigm normative expectation. Istilah ini diperkenalkan oleh Richard Schechner dalam artikel Wayang Kulit in the Colonial Margin (1993). Dalam paradigma ini, tulisan-tulisan mengenai wayang kulit lebih banyak mengenai pertumbuhan wayang yang berkembang di Istana. Oleh sebab itu, berbagai publikasi itu kemudian mengabaikan kenyataan bahwa di desa-desa, di tingkat pergulatan rakyat, kesenian wayang juga dikenal dan memberikan sumbangan penting bagi genre kebudayaan tertentu. Menurut penelitian Darsono (2002), paradigma itu muncul karena sudah sejak awal ada prasangka yang keliru untuk membedakan antara kesenian Istana dengan kesenian rakyat. Untuk kesenian Istana (sebutlah tari, wayang, karawitan, dan sebagainya) dikenal halus, runtut, mempunyai unggah-ungguh, dan bersikap adiluhung.
Sebaliknya, kesenian rakyat tumbuh dalam lingkungan pergaulan yang kasar, tidak runtut, dan tidak sistematis. Sedangkan Ki Jlitheng Suparman, yang belakangan berinovasi dengan “Wayang Kampung Sebelah”, pernah mengatakan pada penulis bahwa sebenarnya Istana (Kraton di Jawa) tidak mempunyai “stok” yang cukup untuk pengemban kebudayaan. Berbagai perkembangan kebudayaan, termasuk kesenian, sesungguhnya rakyatlah yang melakukan kreasi, kemudian terkenal menjadi suatu gaya tersendiri. Lalu oleh kalangan Istana, pekerja seni ini direkrut menjadi abdi dalem (pegawai) sehingga mengenal kehidupan Istana dan memberikan konstribusi bagi tumbuhnya kesenian itu.
Nah, pandangan normative expectation tadi memunculkan anggapan kuat dan diyakini oleh pemangku tradisi Jawa lama bahwa kesenian Jawa adalah kesenian yang murni, tradisional, halus, agung, mistis, mengutamakan nilai batiniah filosofis, dan sebagainya. Akibatnya, kesenian Istana adalah sumber referensi untuk menggali dan mengkaji kenyataan kesenian itu sendiri dalam posisinya—baik karena logika maupun kepentingan politik. Semacam sikap dan pikrian seperti yang diungkapkan oleh Darsono di atas.
Kasus pertama adalah wayang kulit. Sudah sejak pertengahan abad ke-19, wayang kulit dalam normative expectation, menjadi kesenian Istana, dianggap sumber referensi utama, yang sesungguhnya merupakan hasil kerja antara pemikiran Barat (Belanda) dengan Kraton. Para sarjana Belanda menentukan sebuah gaya pewayangan bagi para seniman kraton yang kemudian disebarluaskan oleh para dalang didikan sekolah yang dibua pada tahun 1923 di Surakarta dan 1925 di Yogyakarta. Inilah yang dikenal sebagai “pakem. Jadi, apa yang dikenal sebagai “pakem” itu merupakan hasil jalinan visi estetika Jawa dan Belanda serta agenda intektual yang melahirkan dan dilahirkan oleh wacana kekuasaan.
Tulisan utama tentang wayang dalam dekade 1930-an banyak dikemukan dalam Bahasa Belanda oleh para intelektual, pegawai militer, pelaku bisnis, dan kalangan elit, seperti KGPAA Mangkunagara VII (hidup pada 1885-1944). Raja Mangkunegaran ini berambisi menjadi wayang kulit sebagai perwujudan landasan spiritual ke arah pengetahuan mistik, setelah memperoleh ajaran teosofi Belanda melalui Nyonya Hinloopen Labberton selama menuntut ilmu di Universitas Leiden. Ia juga mendirikan Cultuur-Wijsgeerige Studiekring (Lingkar Studi Filosofi Budaya) dan pernah menulis buku yang berjudul Over de wajang-koelit (poerwa) in het algemeen en over de daring voorkomende symbolische en mystieke elementen (1920). Mangkunegara VII, yang bertahta setelah sang paman Mangkunegara VI mengundurkan diri pada tahun 1916, juga dikenal sebagai perintis penyiaran radio di Indonesia dengan mendirikan Solosche Radio Vereneging (1933). Sosok Maladi, kelak Menteri Penerangan (1952-1959) dan Menteri Olahraga (1959-1966), pernah memimpin lembaga penyiaran ini (sudilah melihat posting saya sebelumnya, Maladi dan TVRI, Rintisan yang Terlupakan). Tidaklah berlebihan, kalau keyakinan wayang mempunyai nilai mistik dan religus sesungguhnya baru berkembang sejak saat itu.
Kasus yang kedua adalah karawitan. Dalam sebuah penelitian untuk disertasi yang diterbitkan pada tahun 1993, Sumarsam mengatakan bahwa sejumlah ritual Kraton ternyata merupakan hasil kolaborasi hasil percampuran antara kepentingan Kraton dan gagasan Belanda. Dalam salah satu syair tembang Dandanggula, yang digubah oleh Purbadipura I (1912) di Kraton Surakarta, menceritakan bagaimana Gending Srikaton dan gamelan Cara Balen ditampilkan bersamaan dengan orchestra Belanda dalam perjamuan resmi di Kraton. Beberapa petikan syair tembang Asmaradana dalam serat Sri Karongrong menceritakan bahwa setiap malam Jumat, para musisi Belanda tampil di Panggung Sanggabuwana Kompleks Kraton Surakarta untuk memainkan lagu-lagu Quadril, Scottiche, ars, Pasodoble dance, fantacia, Galoh, dan Krispolka. Dengan adanya deskripsi fakta itu, maka tidak mengherankan bahwa pada pertengahan abad ke-19, para sarjana/pegawai dan ahli peneliti Belanda menjalin hubungan erat, sehingga menghasilkan karya-karya yang belakangan disebut sebagai “pakem karawitan.”
Mengapa Belanda merasa perlu terlibat dalam proyek penentuan seni Istana tersebut? Bukan saja untuk mengosongkan wayang dari muatan politik dan membekukkannya dalam “pakem” dan dicap “klasik”, tetapi juga untuk menutupi respon terhadap kehadiran kolonial. Proyek ini, seperti diungkapkan oleh Darsono diatas, mengabaikan jenis-jenis kesenian yang berkembang di luar jalur tersebut, lalu memberinya label kesenian rakyat, bukan kesenian Jawa atau tidak menganggapnya sebgai seni.
Jenis kesenian di luar kraton bisa dianggap seni apabila dianggap memiliki kualitas yang baik atau sesuai kebutuhan elit. Melalui pembenahan berupa penghalusan, pendalaman, perumitan, dan sebagainya, kesenian semacam itu diambil alih oleh kraton dan mendapatkan status sebagai kesenian dengan nilai rohani yang penting.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI