Sewaktu menjadi mahasiswa di UGM dan menikmati “riuh rendahnya” demonstrasi 1998, perhatian saya tertuju pada satu sosok yang waktu itu saya anggap amat berkuasa: Wiranto. Di mata saya dan saya kira juga demikian kesan umum yang nampak tampilan Wiranto sebagai Panglima ABRI waktu itu gagah dan tampan, berjiwa pemimpin, terukur emosi, berusaha menjaga ujaran-ujaran lisannya, dan “sangar.” Bagaimanapun, khususnya bulan April 1998, emosi mahasiswa tersulut dengan keputusan Soeharto menaikkan harga BBM. Dan lebih-lebih sesudah peristiwa Trisaksi dan kerusuhan di ibukota (dan sejumlah kota lain), emosi mahasiswa tertumpah kepada ABRI yang dianggap berbuat represif dan pasti akan mendukung kekuasaan. Padahal, tunutan massa saat itu jelas bahwa Soeharto harus turun segera (sesudah terpilih di bulan Maret 1998) dan kalau bisa sebelum Piala Dunia (di Italia, Juni 1998).
Saya kira kesan umum mengenai Wiranto tidak akan berubah, hanya satu dekade terakhir tampaknya “lebih human”, menonjolkan kesan “sipil” dibandingkan bekas tentara dengan “power” yang besar.
Pertengahan 1997 tiba-tiba Presiden Soeharto—melalui Menteri Sekretaris Negara Moerdiono—mengumumkan pencopotan Harmoko, Menteri Penerangan yang sudah hampir 15 tahun menjadi pembantunya dalam kabinet. Kemudian, Jenderal R. Hartono, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ditunjuk menjadi Menteri Penerangan. Harmoko sendiri ditunjuk menjadi Menteri Negara Urusan Khusus (tanpa staf dan kantor) dengan tugas yang oleh Harmoko sendiri tidak terlalu jelas. Nampaknya itu hanya menjadi transisi sebelum dia disetujui Soeharto menjadi Ketua DPR/MPR. Posisi KSAD lalu diisi oleh Wiranto yang telah memperoleh kenaikan pangkat dengan bintang empat.
Konon, saat itu sudah direncanakan oleh Panglima ABRI Feisal Tanjung, bahwa dengan KSAD Wiranto, maka teman seangkatan di Akademi Militer Nasional, Sutiyoso menjadi Wakil KSAD. Namun entah mengapa, Sutiyoso gagal menduduki jabatan itu. Tetapi Fraksi ABRI di DPRD Jakarta mengirimkan surat ke Panglima ABRI agar menunjuk personil untuk dijadikan sebagai Gubernur menggantikan Soerjadi Soedirdja. Maka Feisal pun menunjuk Sutiyoso dan kali ini disetujui oleh Soeharto. Suatu hal yang istimewa Sutiyoso menjadi Gubernur dan mengalami 5 Presiden, “prestasi” yang sulit ditandingi. Dia disetujui Soeharto, mengalami kepemimpinan Habibie dan Abdurrahman Wahid, dicalonkan kembali secara controversial oleh Megawati, dan mengakhiri jabatan di masa kepresidenan Yudhoyono.
Menolak mengikuti preseden sejak Kabinet Pembangunan IV (1983-1988) dan Kabinet Pembangunan V (1988-1993), Soeharto tanpa menunggu purna tugas Kabinet Pembangunan VI (1993-1998) pada Februari 1998 menunjuk Wiranto (yang pernah menjadi ajudannya, 1989-1993) untuk mengisi posisi Panglima ABRI. Pada kabinet Pembangunan IV dan Kabinet Pembangunan V, posisi Panglima ABRI dan Menteri Pertahanan dan Keamanan dipisah dan dilantik bersama-sama. Tahun 1983, Soeharto menunjuk S. Poniman menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan dan L.B. Moerdany menjadi Panglima ABRI. Sedangkan tahun 1988, L.B. Moerdany menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan, sedangkan Tri Soetrisno (kelak Wakil Presiden 1993-1998) menjadi Panglima ABRI. Hanya pada kabinet Pembangunan VI (1993-1998), di awal masa jabatan, Menteri Pertahanan dan Keamanan Edi Sudrajat merangkap menjadi Panglima ABRI sampai beberapa bulan hingga Soeharto menunjuk Feisal Tanjung menjadi Panglima.
Jadilah Wiranto menjadi Panglima ABRI, di saat krisis ekonomi memuncak dan terjadi ledakan demonstrasi publik yang menggerus legitimasi pemerintah. Saat Soeharto mengumumkan Kabinet Pembangunan VII (14 Maret 1998), posisi Wiranto makin kuat karena ditunjuk juga menjadi Menteri Pertahanan dan Keamanan.
Dengan pensiunnya Feisal Tanjung (yang menjadi Menko Polkam) dan R Hartono (yang menjadi Menteri Dalam Negeri), maka di tubuh ABRI terjadi rivalitas antara 2 sosok, Wiranto dan Prabowo (saat itu menantu Soeharto dengan posisi sebagai Panglima Kostrad). Berkali-kali keduanya membantah perseteruan itu akan tetapi nampaknya rivalitas diantara mereka akan terus menjadi pergunjingan publik hingga sekarang, apalagi begitu kentara dalam masa prahara 1998.
Pengaruh dan wibawa Soeharto dalam tataran elit politik pada April-Mei 1998 mulai memudar. Prabowo—yang dekat dengan Habibie saat itu—sering mengadakan diskusi dan itu dituding sebagai scenario untuk membuat peta kepemimpinan baru andai kekuasaan Soeharto runtuh. Sesudah kembali dari Mesir pada 15 Mei 1998, Soeharto menghadapi kenyataan merosotnya kepercayaan publik dan Jakarta yang luluh lantak karena kerusuhan 13-15 Mei. Di sekitarnya mulai tercipta intrik-intrik dan dia kesulitan untuk menentukan siapa yang harus dihadapinya. Semenjak cuti pada Desember 1997 dan kemudian berkuasa kembali, Soeharto jarang berkantor di Istana Negara, tetapi lebih sering di kediaman pribadi di Cendana. Dan Siti Hardiyanti Rukmana atau Mbak Tutut menjadi pendamping formal maupun nonformal yang berarti menjadi kubu tersendiri dalam jalinan komunikasi antarelit saat itu. Kepercayaan Soeharto kepada Wakil Presiden Habibie—orang yang dipercaya dan disayanginya hampir 25 tahun terakhir—tergerus. Terhadap ABRI, Soeharto menghadapi usulan yang berlawanan diantara klik-klik yang ada. Kubu Feisal Tanjung dan Prabowo menghendaki Soeharto menggunakan kewenangannya menetapkan keadaan darurat, membentuk semacam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib, pernah dibentuk sejak 1965 hingga 1988 dengan kewenangan represif dan ekstra yudisial besar) serta menindak tegas aksi massa yang menjungkirkan kekuasaannya. Sementara Wiranto dan juga Yudhoyono (saat itu Kepala Staf Sosial Politik ABRI) lebih memilih untuk berpihak kepada realitas politik untuk memperhatikan suara publik tetapi juga secara hati-hati tetap menjaga kehormatan Soeharto andai terpaksa Soeharto harus turun.
Wiranto dianggap sebagai sosok yang dapat dihandalkan Soeharto saat di malam hari tanggal 18 Mei 1998 menolak pernyataan Pimpinan DPR/MPR pada sore sebelumnya yang meminta Soeharto turun. Perubahan gradual dan konstitusional adalah mantra yang selalu diucapkan Wiranto kala berargumentasi dengan tuntutan reformasi. Tetapi Wiranto juga “galau” ketika harus menerima Instruksi Presiden No. 16 Tahun 1998 yang memberinya “bertindak apapun sepanjang untuk ketertiban dan keamanan.” Ia ditunjuk menjadi Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Kewaspadaan Nasional. Ia bisa berperan seperti Soeharto saat krisis politik tahun 1965/1966. Bagaimanapun posisi Wiranto di atas angin. Ia telah meminta Soeharto untuk menyetujui pengunduran dirinya tetapi Soeharto hanya mengatakan,”Teruskan saja tugasmu.” Namun, saat menyerahkan Instruksi Presiden tersebut Soeharto berpesan,”Surat ini akan digunakan atau tidak, itu terserah kamu.” Keragu-raguan Wiranto karena ia tidak ingin dicap melakukan kudeta atau menggunakan kewenangan yang tidak konstitusional di kelak kemudian hari. Saat ditanya oleh Yudhoyono,”Apakah Panglima akan mengambil alih pemerintahan?” Wiranto menjawab, “Tidak.” Dan jadilah sepucuk surat Soeharto itu tidak pernah digunakan oleh sang Panglima ABRI.
Tanggal 21 Mei 1998 Soeharto memutuskan “berhenti sebagai Presiden” dan Habibie dilantik menjadi Presiden. Seketika Wiranto menegaskan bahwa ABRI “akan senantiasa menjaga kehormatan mantan Mandataris MPR, termasuk Bapak Soeharto beserta keluarga.” Entah apa makna pernyataan ini. Tidak jelas juga, bagaimanakah posisinya di hadapan Soeharto waktu itu di tengah simpang siur informasi dan pergolakan elit politik saat itu.
Wiranto tahu bahwa Presiden Habibie akan memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dan Keamanan serta Panglima ABRI, bahkan sang penguasa baru menghendaki agar jabatan menteri diisi oleh kalangan sipil. Untuk posisi menteri, Asisten Sekretaris Wakil Presiden Bidang Kesejahteraan Rakyat Jimly Asshiddie ditunjuk, sementara Panglima akan diisi oleh Menteri Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan, Hendro Priyono. Entah mengapa saat bertemu Habibie pada 22 Mei 1998, Wiranto dipertahankan dalam posisi rangkap itu. Apakah Habibie menggantungkan nasibnya pada dukungan Wiranto ataukah justru ada konsesi-konsesi lain?
Tetapi sepanjang masa pemerintahan Habibie (512 hari, 21 Mei 1998-20 Oktober 1999) Wiranto mampu mempertahankan legitimasi pemerintahan, menggulirkan reposisi militer (dan kemudian disebut TNI kembali), menyetujui pemisahan kepolisian dari militer, dan bersikap netral dalam proses pemilu Juni 1999. Wiranto juga menolak untuk berpartisipasi pada pemilu presiden di MPR dengan pernyataan di awal Oktober 1999. Tetapi Wiranto masih harus dituntut untuk memberikan penjelasan mengenai lepasnya Timor Timur dan kerusuhan di wilayah itu pasca penentuan pendapat pada Agustus 1999.
Wiranto dihargai oleh Abdurrahman Wahid dan terutama menjadi bagian dari pihak yang diminta untuk mengisi personalia kabinet. Wiranto menyetujui Juwono Sudarsono menjadi Menteri Pertahanan, mengusulkan pembentukan kementerian yang mengurusi otonomi daerah, dan dia kemudian menjadi Menko Polkam. Tetapi Wiranto gagal mengusulkan Yudhoyono menjadi KSAD. Presiden Wahid enggan memberikan persetujuan, tetapi menerima usul Wiranto supaya Yudhoyono menjadi Menteri Pertambangan dan Energi. Karier militer Yudhoyono harus berakhir, karena menurut aturan yang disusunnya sendiri dalam rangka reformasi militer, perwira aktif harus pensiun jika menduduki posisi sipil.
Tetapi di tengah kunjungan ke Eropa pada 2000, Presiden Wahid meminta Wiranto untuk mengumumkan pengunduran diri dari jabatannya. Untuk menghindari situasi yang berlarut-larut Wiranto pun menegaskan diri mengundurkan diri dari kabinet. Dan sejak itu, karier jenderal ini mulai redup, meskipun kembali bergairah dalam pemilu presiden 2004. Wiranto membentuk Partai Hanura dan kalah kembali dalam kompetisi 2009 (menjadi Wakil Presiden mendampingi Jusuf Kalla), dan belakangan kembali mencuat saat berhasil mengajak Hary Tanoe, bos MNC Group masuk ke Hanura.
Wiranto berperan besar dalam masa transisi demokrasi 1998. Tetapi beban Wiranto juga akan selalu diungkit-ungkit soal kerusuhan 1998. Wiranto menggenggam kehormatan sekaligus beban sejarah yang akan senantiasa menderanya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI