Oleh Muhammad ishak (Mahasiswa UIN KHAS Jember)
Abstrak
Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan, memiliki peran krusial dalam membentuk peradaban. Nalar Irfani (gnostisisme Islam) berakar dari kata Arab ‘arafa yang berarti ‘mengetahui’ atau ma'rifah, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual langsung (kasyf) dan intuisi, bukan semata-mata dari analisis teks (Bayani) atau penalaran logis (Burhani). Era modern ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa, didukung oleh epistemologi Burhani (rasional-empiris). Tantangan terbesar Irfani adalah sifatnya yang subjektif dan personal. Revitalisasi harus menekankan perlunya integrasi dan keseimbangan ketiga nalar agar Irfani tetap berakar pada norma-norma agama dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial. Secara historis, dalam banyak kurikulum pendidikan Islam, terutama di era modern, nalar Burhani (filsafat dan sains) dan Bayani (fikih dan usul fikih) telah mendominasi, sementara Irfani (tasawuf) seringkali dimarjinalkan atau disederhanakan hanya pada aspek ritual.
Pendahuluan
Epistemologi, sebagai cabang filsafat yang mengkaji asal-usul, struktur, metode, dan validitas pengetahuan, memiliki peran krusial dalam membentuk peradaban. Dalam tradisi intelektual Islam, dikenal tiga kerangka epistemologi utama yang saling melengkapi: Nalar Bayani (tekstual), Nalar Burhani (rasional-logis), dan Nalar Irfani (intuitif-spiritual). Di tengah dominasi rasionalitas dan empirisme Barat di era modern, revitalisasi nalar Irfani menjadi semakin penting untuk menanggapi krisis spiritual dan memberikan dimensi pengetahuan yang lebih holistik.
1. Memahami Nalar Irfani: Pengetahuan dari Kedalaman Batin
Nalar Irfani (gnostisisme Islam) berakar dari kata Arab ‘arafa yang berarti ‘mengetahui’ atau ma'rifah, yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman spiritual langsung (kasyf) dan intuisi, bukan semata-mata dari analisis teks (Bayani) atau penalaran logis (Burhani). Bagi kaum ‘arif (gnostik atau sufi), sumber pengetahuan tertinggi adalah Allah (al-Haqq), dan pengetahuan sejati dicapai melalui perjalanan batin (suluk), penyucian jiwa (tazkiyat al-nafs), dan disiplin spiritual (riyadhah) (Kartanegara, 2005). Pengetahuan Irfani sering disebut sebagai "ilmu yang hadir" ('ilm hudhuri), karena objek pengetahuan hadir secara langsung dalam kesadaran subjek, berbeda dengan "ilmu yang diperoleh" ('ilm husuli) yang melalui perantara dan proses berpikir. Tokoh-tokoh utama yang mengembangkan tradisi ini termasuk Ibnu Arabi dengan konsep wahdat al-wujud (kesatuan wujud) dan Suhrawardi dengan Hikmah al-Ishraq (Filsafat Iluminasi) (Nasr, 1993). Mereka menegaskan bahwa akal saja tidak cukup untuk memahami hakikat realitas secara utuh; diperlukan mata batin untuk 'menyaksikan' kebenaran transendental.
2. Relevansi Nalar Irfani di Era Modern
Era modern ditandai oleh kemajuan sains dan teknologi yang luar biasa, didukung oleh epistemologi Burhani (rasional-empiris). Namun, kemajuan material ini seringkali berbanding terbalik dengan kemerosotan moral dan krisis spiritual (spiritual crisis of modern man). Di sinilah nalar Irfani menemukan relevansi kritisnya:
Menjembatani Dikotomi Ilmu: Salah satu problem utama peradaban modern adalah dikotomi ilmu-pemisahan antara ilmu agama (naqliyah) dan ilmu umum (aqliyah). Nalar Irfani, dengan fokusnya pada hakikat transendental, menawarkan kerangka integrasi. Ia tidak menolak rasionalitas atau teks, tetapi menempatkannya dalam konteks pemahaman spiritual yang lebih luas. Pengetahuan yang diperoleh melalui Irfani dapat memberikan dimensi moral dan etis yang mendalam pada produk-produk ilmu pengetahuan modern, memastikan bahwa kemajuan teknologi tidak kehilangan arah kemanusiaan (Nasr, 2010).
Mengobati Krisis Eksistensial: Globalisasi, individualisme, dan konsumerisme seringkali menciptakan kekosongan batin dan perasaan keterasingan eksistensial pada manusia modern. Irfani menawarkan jalur untuk kembali ke pusat diri, yaitu hati (qalb), sebagai tempat penyingkapan kebenaran. Pengalaman spiritual yang otentik dapat memberikan makna hidup yang mendalam dan melampaui kepuasan materi sesaat, menjadi penawar bagi kecemasan dan kekecewaan modern.
Kekayaan Hermeneutika: Dalam interpretasi teks keagamaan (hermeneutika), Irfani melengkapi Bayani (interpretasi literal) dan Burhani (interpretasi logis). Nalar Irfani memungkinkan pemahaman esoterik (batiniah) dari wahyu. Ini menjadikan ajaran agama tidak hanya kaku pada makna lahiriah, tetapi juga dinamis dan relevan dengan realitas batin manusia yang kompleks. Dalam konteks ini, Muhammad Abid al-Jabiri menyerukan integrasi ketiga nalar ini untuk membentuk epistemologi Islam yang holistik dan kontekstual (Al-Jabiri, 1991).
3. Tantangan Revitalisasi Nalar Irfani
Meskipun memiliki relevansi yang signifikan, revitalisasi nalar Irfani di era modern menghadapi sejumlah tantangan:
Objektivitas dan Validitas: Tantangan terbesar Irfani adalah sifatnya yang subjektif dan personal. Pengetahuan Irfani diperoleh melalui pengalaman batin (kasyf) yang sulit diuji atau diverifikasi secara empiris dan rasional. Di era yang menuntut bukti konkret dan replikasi ilmiah, pengalaman spiritual seringkali dianggap non-ilmiah atau bahkan takhayul. Oleh karena itu, diperlukan metodologi yang lebih baik untuk mengartikulasikan dan mengkomunikasikan pengetahuan Irfani tanpa mereduksinya ke ranah Burhani, sambil tetap menjaga kriteria validitas spiritualnya (Kartanegara, 2005).
Potensi Eksklusivitas dan Fanatisme: Karena Irfani menekankan pengalaman pribadi, ada bahaya bahwa pengetahuan ini bisa menjadi eksklusif dan rentan terhadap klaim kebenaran mutlak yang tidak dapat dikritik oleh pihak luar. Jika tidak diimbangi oleh Bayani (teks) dan Burhani (akal), Irfani dapat mengarah pada sinkretisme atau fanatisme mistis yang menjauhkan diri dari syariat dan realitas sosial. Revitalisasi harus menekankan perlunya integrasi dan keseimbangan ketiga nalar agar Irfani tetap berakar pada norma-norma agama dan dapat dipertanggungjawabkan secara sosial.
Marginalisasi dalam Institusi Pendidikan: Secara historis, dalam banyak kurikulum pendidikan Islam, terutama di era modern, nalar Burhani (filsafat dan sains) dan Bayani (fikih dan usul fikih) telah mendominasi, sementara Irfani (tasawuf) seringkali dimarjinalkan atau disederhanakan hanya pada aspek ritual. Untuk merevitalisasi Irfani, diperlukan upaya serius untuk mengintegrasikan dimensi spiritual dan mistis ke dalam kurikulum pendidikan Islam dan umum, agar dapat membentuk individu yang seimbang antara akal, hati, dan syariat.
4. Jalan Menuju Integrasi Epistemologi Holistik
Revitalisasi nalar Irfani bukanlah seruan untuk meninggalkan rasionalitas atau teks, melainkan upaya untuk mengembalikan keseimbangan epistemologis dalam peradaban Islam. Tujuan akhirnya adalah mencapai Epistemologi Holistik yang mengintegrasikan tiga pilar pengetahuan:
1.Bayani sebagai Fondasi Normatif yang memberikan landasan etis dan keotentikan ajaran.
2.Burhani sebagai Alat Kritis yang memastikan koherensi logis dan validitas empiris.
3.Irfani sebagai Dimensi Transendental yang memberikan kedalaman spiritual, makna eksistensial, dan pemahaman hakikat.
Dengan mengintegrasikan Irfani, umat Islam dapat merespons tantangan intelektual dan spiritual era modern, menghasilkan ilmu pengetahuan dan peradaban yang tidak hanya maju secara material tetapi juga kaya secara moral dan spiritual. Nalar Irfani, dengan potensinya untuk mengungkap kebenaran batin, adalah khazanah abadi yang perlu dihidupkan kembali agar Islam tetap menjadi panduan hidup yang utuh dan relevan sepanjang zaman.
Kesimpulan
Revitalisasi nalar Irfani adalah proyek mendesak untuk peradaban Islam kontemporer. Ini menuntut keberanian intelektual untuk menerima dimensi spiritual sebagai sumber pengetahuan yang sah, sambil tetap waspada terhadap tantangan subjektivitas dan eksklusivitas. Hanya melalui sintesis harmonis dari Bayani, Burhani, dan Irfani, umat Islam dapat menemukan kembali peta jalan menuju kearifan abadi dan kebahagiaan sejati di tengah hiruk pikuk modernitas.
Â
Referensi
Al-Jabiri, Muhammad Abid. (1991). Takwin al-Aql al-Arabi (Pembentukan Nalar Arab). Beirut: Dar al-Tali’ah. (Karya kunci yang membahas trilogi epistemologi Bayani, Burhani, dan Irfani).
Kartanegara, Mulyadi. (2005). Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam. Bandung: Mizan. (Menyajikan kerangka epistemologi Islam, termasuk perbandingan 'ilmu hudhuri' dan 'ilmu husuli').
Nasr, Seyyed Hossein. (1993). Ideals and Realities of Islam. London: Aquarian Press. (Membahas dimensi esoterik dan Irfani dalam Islam, khususnya dalam konteks tasawuf).
Nasr, Seyyed Hossein. (2010). Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man. Chicago: Kazi Publications. (Karya fundamental yang mengkritisi epistemologi modern dan menyoroti pentingnya kearifan tradisional/spiritual).
Yazdi, Mehdi Hairi. (1992). The Principles of Epistemology in Islamic Philosophy: Knowledge by Presence. New York: State University of New York Press. (Kajian mendalam mengenai konsep "ilmu hudhuri" yang menjadi dasar dari nalar Irfani).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI