Mohon tunggu...
Humaniora

Panjalu Tasikmalaya panca Kaki Meretas Sejarah Leluhur oleh: Isfandiari

15 April 2011   07:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:47 1693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Priangan Timur abad ke-7 masehi berdiri kerajaan Panjalu yang diperintah prabu Cakradewa. Dari hasil perkawinan dengan putri Sari Kidang Pananjung, lahirlah enam putra yang salah satunya bernama Prabu Borosngora. Ia inilah yang disiapkan menjadi raja Panjalu di masa mendatang. Sejak muda Borosngora sangat berbakat mendalami ilmu kedigjayan. ”Kesaktiannya luar biasa, berjalan di tanah dan air tak ada bedanya. Iapuntidak pernah tahu warna darahnya sendiri karena kekebalan tubuhnya,” kisah kuncen Bumi Alit Panjalu, museum tempat barang-barang pusaka Panjalu di alun-alun kota. Alkisah, tak ada satu mahlukpun di Nusantara yang mampu mengalahkan Borosngora.

Ayahnya cemas akan kesaktian putranya. Ia takut sang putra manyalahgunakan ilmunya. Diceritakan, tak ada satupun Wiku (pendeta Hindu) yang bisa melunturkan ilmu Borosngora. Maka disuruhlah Borosngora berkelana mencari Elmu Sajati di negeri yang jauh. Singkat cerita ia mengadu ilmu dengan seorang kakek tua di Hejaz, Mekah, Saudi Arabia. Ternyata ilmunya kalah oleh sang kakek yang tak lain adalah Sayidina Ali R.A. Iapun berguru dan mendapat ajaran Islam. Pulang berguru, Borosngora menjadi rajasekaligus menjadikan Panjalu kerajaan Islam yang kuat. Saat pulang Borosngora dihadiahi Pedang, Cis (tongkat untuk kotbah) dan Baju kesultanan. “Cis, dicuri gerombolan DI/TII tahun 50-an, baju hancur dimakan waktu, sedang pedang masih ada sampai sekarang,” kata Kuncen Bumi Alit. Sampai kini pedang tersebut tersimpan di Museum dan bisa disaksikan oleh masyarakat saat akhir bulan Rabi’ul Awal atau akhir Maulid Maulid Nabi dalam upacara Nyangku.Sejarah menulis, saat pulang Borosngora juga membawa air Zam-Zam dan ditumpahkan di dataran rendah Panjalu dan berubah menjadi Situ Lengkong atau danau Lengkong. Perjalana sejarah ini mengandung arti penting, bahwa keislaman rakyat Panjalu bukan didapat dari saudagar arab (hadramaut) yanag berlabuh ke Indonesia seperti daerah-daerah lain, tapi peran aktif raja Panjalu ke tanah Arab di jaman Khalifah Ali Bin Abi Thalib.

Di pulau ini bersemayam makam para leluhur Panjalu, Mbah Panjalu yang menurut Abdurahman Wahid adalahSayid Ali Bin Muhammad Bin Umar dari Pasai. Dalam buku Babad Panjalu, beliau disebut sebagai Hariang Kencana, putra Prabu Borosngora. Versi lain menyebut yang dimakamkan adalah Wastu Kencana, raja Galuh yang bertahta di Kawali. Walahu alam!

Untuk mencapai Nusa Gede, transportasi satu-satunya adalah rakit. Air danau yang dipercaya berasal dari Zam-Zam di Tanah Hejaz (Arab) dan pemandangan Situ Lengkong dengan kelelawar pemakan buah, tentunya jadi kenikmatan tersendiri. Makamleluhur Panjalu yang kental nuansa magis dan sejarah kerajaan Sunda juga jadi magnet yang memesona.

Sehabis ziarah, silakan menyempatkan diri berkunjung ke museum Bumi Alit tempat disimpannya benda-benda pusaka kerajaan. Paling utama ya, pedang Sayidina Ali R.A, oleh-oleh sang guru pada Borosngora. Pedang tersebut tersimpan apik diselubungi kain putih. “Sebelum meninggal Borosngoraberpesan untuk tak menujukkan letak makamnya. Hanya pedang inilah sebagai kenang-kenangan keturunan Panjalu sampai sekarang,” terang Kuncen Bumi Alit.

Saran saya, datanglah ke wilayah ini saat perayaan Maulid Nabi SAW. Mereka menggelar acara nyangku (mencuci benda pusaka). Jika beruntung, benda-benda pusaka seluruh tatar ukur (Priangan) akan datang secara gaib ke Bumi Alit untuk mandi. Katanya, museum Bumi Alit akan penuh oleh benda-benda yang berdatangan dari daerah lain. Setelah upacara pencucian selesai, koleksi Bumi Alitpun kembali seperti sedia kala.

Happy travelling!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun