Tragedi meninggalnya balita R (4 tahun) di Sukabumi pada Juli 2025 menyisakan luka mendalam sekaligus pertanyaan besar: apakah sistem perlindungan anak kita benar-benar hadir di akar rumput? Kasus ini bukan semata peristiwa medis, melainkan potret nyata lemahnya perlindungan anak di tingkat terkecil---desa dan komunitas.
Balita R meninggal akibat infeksi cacing gelang yang sebenarnya dapat dicegah dan ditangani lebih dini. Namun, kondisi keluarganya memperburuk keadaan: sang ibu diduga memiliki gangguan kesehatan mental sehingga pengasuhan tidak optimal, sang ayah menderita tuberkulosis, dan keluarga ini hidup tanpa Kartu Keluarga (KK) maupun kepesertaan BPJS Kesehatan. Kombinasi kerentanan tersebut membuat akses terhadap layanan kesehatan nyaris tertutup. Situasi ini akhirnya menimbulkan tragedi yang seharusnya bisa dicegah.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Arifah Fauzi, menegaskan bahwa perlindungan anak adalah tanggung jawab bersama: orang tua, tetangga, pemerintah desa, hingga negara. Pesan ini penting, sebab kasus R menunjukkan bahwa mekanisme perlindungan yang ada belum mampu bekerja efektif di level komunitas.
Ada beberapa masalah kebijakan yang bisa ditarik dari kasus ini. Pertama, kapasitas desa sebagai garda terdepan perlindungan anak masih sangat terbatas. Perangkat desa, kader kesehatan, atau PKK seringkali tidak dibekali pengetahuan dan sumber daya memadai untuk mendeteksi keluarga yang rentan.
Kedua, koordinasi antar lembaga lemah. Data tentang keluarga tanpa dokumen kependudukan tidak terhubung dengan baik antara dinas kesehatan, dinas sosial, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A). Akibatnya, keluarga seperti R terlewat dari radar.
Ketiga, akses layanan kesehatan berbasis jaminan sosial masih timpang. Tanpa identitas kependudukan, keluarga tidak bisa mendaftar BPJS. Hal ini menciptakan lingkaran setan: keluarga miskin tanpa dokumen, lalu kehilangan akses kesehatan, dan akhirnya anak-anak menjadi korban.
Keempat, ada kesenjangan antara kebijakan nasional dan implementasi di lapangan. Program Desa/Kota Layak Anak seringkali hanya sebatas label administratif, tanpa memastikan bahwa tenaga konselor, psikolog, atau pekerja sosial tersedia di desa.
Kelima, masyarakat sekitar juga belum cukup berdaya untuk bertindak. Budaya "tidak mau ikut campur" membuat tetangga atau tokoh lokal kurang peka terhadap tanda-tanda keluarga yang kesulitan. Padahal, partisipasi komunitas menjadi bagian penting dalam perlindungan anak.
Belajar dari kasus ini, ada sejumlah langkah yang perlu diperkuat. Pertama, peran pemerintah desa harus diperluas dalam perlindungan anak. Posyandu, kader kesehatan, dan PKK harus diberdayakan untuk melakukan deteksi dini kerentanan keluarga, terutama anak-anak.
Kedua, sistem data terpadu antara dinas terkait dan pemerintah desa perlu dibangun. Dengan begitu, keluarga tanpa KK atau BPJS bisa segera difasilitasi, bukan dibiarkan terabaikan. Program jemput bola untuk administrasi kependudukan dan pendaftaran BPJS menjadi sangat penting.
Ketiga, layanan proaktif bagi keluarga rentan harus diperkuat. Pemerintah daerah dan UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak perlu menambah tenaga profesional, seperti psikolog dan pekerja sosial, untuk membantu kasus pengasuhan yang dipengaruhi gangguan kesehatan mental maupun penyakit kronis dalam keluarga.