Mohon tunggu...
Alifis@corner
Alifis@corner Mohon Tunggu... Seniman - Seniman Serius :)

Sebagaimana adanya, Mengalir Seperti Air | Blog : alifis.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Komunikasi Virtual, Ada Sesuatu yang Hilang

1 Mei 2020   22:01 Diperbarui: 1 Mei 2020   22:05 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saatnya kita kerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah di rumah"

"Inilah saatnya bekerja bersama-sama, saling tolong-menolong dan bersatu padu. Gotong royong, kita ingin ini jadi gerakan masyarakat agar masalah Covid-19 bisa ditangani maksimal". (kompas.com)

Dua kalimat yang disampaikan pak Jokowi di tanggal 15 Maret 2020 inilah yang menjadi dasar hadirnya berbagai kebijakan di berbagai bidang kehidupan dan mengubah ritme aktivitas sebagian masyarakat Indonesia. Dua kalimat yang sekilas kontradiktif. Satu sisi ada perintah untuk bekerja, belajar dan ibadah di rumah saja. Menjauh dari aktivitas berhimpun dan berkumpul dengan orang lain di luar rumah. Di sisi yang lain, diperintah untuk bekerja sama, bergotong-royong, tolong menolong, bersatu padu menangani wabah covid19. Ini tidak mungkin dilakukan tanpa berkumpul dan bertemu dengan orang lain.

Itu dulu saat awal wabah. Dengan situasi saat ini perlu kesungguhan pemerintah dan kesadaran masyarakat, kontradiksi ini bisa semakin difahami. Tantangan yang masih lembam, rumit dibereskan selain dari aspek perekonomian, kultur masyarakat kita  yang berkarakter komunal, juga menjadi tantangan tersendiri.

Terkait kebijakan bekerja, belajar dan ibadah di rumah, sektor yang paling responsif menyikapi kebijakan pemerintah adalah dunia pendidikan. Lembaga pendidikan dengan segera meniadakan tatapmuka di kelas dan proses pembelajaran di lakukan dari rumah secara daring (online). Siswa/mahasiswa belajar dirumah (study from home, SFH) dan guru/dosen mengajar dari rumah (teach from home, TFH). Kita melihat dalam kasus wabah covid19 ini teknologi menjadi solusi.

Komunikasi Daring

Apakah dengan teknologi semua tertangani? Beragam jawaban akan muncul beserta argumentasinya. Tetapi saya akan bercerita dari sudut pandang saya sebagai pengajar. Media sosial sudah begitu kental mewarnai cara berkomunikasi masyarakat modern saat ini. Sudah biasa kita jumpai siswa, mahasiswa, guru dan dosen memegang ponsel dan memiliki beragam akun media sosial. Kami sesama pengajar juga sudah lama memiliki grup WA untuk komunikasi dan berbagi informasi. Yang interes dengan pekembangan teknologi pembelajaran, agenda perkulaiahan sering diintegrasikan melalui media daring. Istilahnya model blended learning, pembelajaran campuran yang memadukan pembelajaran tatapmuka di kelas dan pembelajaran elearning di luar kelas dengan media sosial di ponsel.

Tapi tidak semua guru/dosen memanfaatkan metode ini. Ada yang keras kepala lebih suka proses pembelajaran konvensional. Maaf jujur, diluar alasan keterbatasan fasilitas, biasanya terjadi pada generasi tua yang gagap teknologi. Urusan pelajaran atau mata kuliah hanya di kelas/kampus. Golongan inilah yang paling 'mati gaya' ketika tiba-tiba diharuskan mengajar dari rumah. Kuliah daring. Sekolah dan kampus sudah tutup. Tidak mungkin bertemu dengan rekan sejawat untuk berdiskusi dan belajar bersama. Jika biasanya bisa dipecahkan dengan silaturahmi sesama rekan kerja, sejawat guru/dosen sambil bercanda dan tertawa bersama. Ini tidak lagi.

Satu-satunya cara adalah bertanya di grup media sosial sesama rekan satu kantor. Media sosial yang biasanya dominan berbagi cerita, informasi kegiatan, ucap selamat, maka di minggu pertama TFH lebih banyak membicarakan metode kuliah daring, aplikasi elearning dan tatapmuka daring.

Beragam aplikasi muncul selain WA yang sudah biasa. Untuk absensi harian dan komunikasi tupoksi kerja diharuskan install aplikasi slack. Aplikasi ini meliput dari tingkat Rektorat, Fakultas sampai Program Studi. Seluruh civitas akedemika kampus terintegrasi disitu. Untuk aplikasi pembelajaran daring teleconference bisa memakai Zoom, Webex, CloudX, Meet. Untuk media e learning bisa menggunakan google classroom, telegram, e-learning kampus. Untuk membuat media pembelajaran bisa menggunakan Loom, Streaming Video Recorder, Openboard dan lain-lain. Minggu awal SFH-TFH semua banyak belajar. Keadaan harus dipelajari dan disikapi dengan cepat.

Di minggu pertama, minggu kedua semua sibuk dengan metode pembelajaran baru. Amazing. Komunikasi tetap terjaga sebagaimana sebelum kebijakan belajar dari rumah. Justru semakin komplit dengan lontaran humor atau banyolan terkait pemanfaatan teknologi. Hampir semua menikmati model pembalajaran baru. Ada beberapa yang terpaksa menahan keluhan dengan keadaan, terkait berbagai keterbatasan. Rekan-rekan berdiskusi untuk memberikan saran dan jalan keluar. Pada aspek-aspek tertentu. teknologi tidak bisa memberi solusi.  Harapan semua pihak di pertengahan April lalu wabah sudah usai. Tapi realitas berkata lain,  wabah makin menjadi akhirnya SFH-TFH diperpanjang sampai akhir Mei.

Sekarang sudah masuk minggu kelima. Berita covid19 selalu hadir di timeline grup media sosial kantor kami. Terhadap fenomena sosial akibat wabah covid19 berdampak terhadap anak didik juga mengisi pembicaraan sesama rekan sejawat di dalam grup dengan berpartisipasi sebagai bentuk kepedulian.. Sejauh mana perkuliahan berlangsung, berapa jumlah mahasiswa yang mengikuti bergantian muncul setap hari. Grup media sosial sesama rekan sejawat pengajar mampu menjembatani berbagai keterbatasan komunikasi dan informasi terkait dengan tupoksi kerja dan kewajiban akademik.

Ada sesuatu yang hilang

Teknologi ponsel dan aplikasi media sosialnya sebagai media silaturahmi virtual mampu menjadi sarana handal kapanpun dalam rangka menjalin komunikasi yang diinginkan. Tapi ada kerinduan suasana. Kembali seperti sediakala. Karena ada sesuatu  yang hilang.

Slack dan WA akhirnya selalu menjadi tumpuan kami sebagai pengajar untuk berkomunikasi dengan sesama rekan sejawat. Wabah covid19 memang mampu memisahkan rekan-rekan sejawat untuk berdiam dirumah. Tetapi silaturahmi kami tidak ada yang berubah. Cukup hangat, kadang formal, sesekali guyonan, pembicaraan serius, celetukan. Walau tetap, ada yang kurang lengkap.

(dokpri)
(dokpri)

Komunikasi virtual memiliki banyak kelebihan, bukan berarti tidak ada kekurangan. Pembelajaran daring atau jarak jauh kurang berjiwa. Kurang ekspresi sebagai penyerta. Cenderung  penuh logika. Apa yang dirasakan oleh mahasiswa, sejauh mana mengerti juga tidak bisa dieja (sambil saya membayangkan sedang santai duduk berdiskusi materi kuliah dibawah pohon dengan beberapa mahasiswa). Foto-foto bantuan peduli covid19 pada mahasiswa turut menghiasi, berita meninggalnya rekan sejawat yang sudah purna membangkitkan duka dan kesedihan. Tapi situasi social distancing dan laporan terbaru adanya 9 positif terkonfirmasi di kota, menjadi pertimbangan hanya ucapan yang sanggup kami sampaikan. Dan apakah senang dan sedih yang dirasakan bisa ditransfer dan diterima pembaca chat sebaik rasa aslinya. Rasanya tidak. Dunia virtual memang memberikan harapan tapi sekaligus menyuguhkan ketidakpastian. Paradoks.

 Demikian juga dengan tawa bersama dengan  rekan sejawat. Tertawa virtual berbeda rasa dengan tertawa di tempat kerja. Emosi diwakili emoticon. Mungkin kita bisa merespon dengan memainkan rasa, sedikit tertawa. Tetapi tetap ada yang hilang. Mengapa?

Karena Saya rindu 'suasana'. Karena kita orang Indonesia.  

alifis@corner

010520

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun