Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kita Memang Bangsa Kerupuk

11 Oktober 2015   16:14 Diperbarui: 11 Oktober 2015   16:29 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SHUTTERSTOCK

Teman saya Fahmi kalau makan harus ada kerupuk. Memang banyak juga yang seperti itu. Ada yang baru bisa makan kalau ada sambal. Atau harus ada cabe rawit. Atau lalapan. Atau kecap. Ya, semua tergantung kebiasaan di masa kecil bersama orang tua masing-masing.

Makanya orang kita kalau bepergian ke luar negeri untuk jangka waktu lama, suka bawa makanan kesukaan itu tadi, takut di sana sulit mencarinya. Ada yang bawa sambal, bawa rendang. Banyak pula yang bawa mie instan, karena di luar negeri harganya jauh lebih mahal.

Namun satu hal yang pasti, orang Indonesia kalau belum makan nasi, biasanya merasa belum makan, meskipun habis makan singkong goreng. Makan 3 kali sehari maksudnya adalah makan nasi plus lauknya. Adapun ngemil bisa saja 10 kali sehari, bahkan lebih.

Beberapa suku di nusantara yang dulu tidak makan nasi, tapi singkong, jagung, atau sagu, oleh pemerintah "sukses" di-nasi-kan semua. Akibatnya stok beras menipis, dan harganya cenderung naik.

Kembali ke soal kerupuk, atau sering pula disebut kripik, kenapa kok ujuk-ujuk saya angkat di tulisan ini, bermula dari kekagetan saya mendapat oleh-oleh dari Kota Sorong, Papua Barat, beberapa bungkus kerupuk keladi. Sungguh kreatif saudara-saudara kita di Papua. Kerupuk keladinya diberi bumbu tertentu dan bagi saya sungguh maknyus. Di Manokwari ada abon gulung yang juga jadi oleh-oleh khas Manokwari. Sekarang saya baru tahu ada kerupuk keladi Sorong.

Tadinya, sebagai orang Minang, saya merasa yang paling kreatif soal kerupuk ya orang Minang. Apa saja dibikin kerupuk di Padang. Mulai dari singkong, kentang, talas, melinjo, beras, beras ketan, kulit sapi, sampai kerupuk jengkol.

Ternyata di Malang banyak sekali cemilan dari kerupuk. Tidak saja kerupuk tempe, tapi juga apel, nanas, sukun, mangga, dan sebagainya. Bandung juga amat kreatif di bidang perkerupukan. Di sana ada kripik yang tingkat kepedesannya bergradasi dari level 1 sampai level belasan. Dan laku keras, termasuk melalui penjualan online.

Kemudian saya ingat lagi banyak kerupuk ikan di Palembang dan Kalimantan. Kerupuk udang banyak terdapat di Sidoarjo, Cirebon, dan kota-kota pantai utara Jawa lainnya. Waktu saya kecil di Payakumbuh, Sumbar, dapat makan kerupuk udang Sidoarjo sudah merupakan kemewahan. Biasanya dibawakan oleh kerabat yang baru pulang dari Pulau Jawa.

Kesimpulan saya, kita ini memang bangsa kerupuk. Tapi sama sekali tidak bermental kerupuk, dalam arti gampang remuk kalau menemui hambatan. Paling tidak ribuan, mungkin malah puluhan ribu, pengusaha kecil perkerupukan di nusantara ini, terbukti tahan banting dan usahanya makin berkembang. Hidup kerupuk!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun