Hari Sabtu yang lalu saya berkesempatan hadir di acara pernikahan salah seorang staf di tempat saya berkantor di Jakarta. Namun acaranya bukan di Jakarta, tapi di sebuah kota kabupaten di provinsi Jambi, Muaro Bungo. Kota ini adalah tempat domisili orang tua penganten wanita, staf di kantor saya itu.
Setelah menempuh jalan darat selama 5 jam dari Jambi, dan di beberapa lokasi terlihat bekas areal lahan yang terbakar, sampailah saya beserta beberapa teman di Muaro Bungo, dan langsung menuju ke lokasi sesuai denah yang ada di undangan. Karena kedua mempelai adalah saudara kita yang beretnis Batak, tentu acara pernikahannya berlangsung secara adat Batak.
Menurut seorang teman yang mendampingi saya, acara pernikahan tersebut berlangsung sehari penuh, dari pagi sampai malam. Bagi tamu undangan seperti kami, disediakan waktu khusus dari jam 13.30 sampai 16.00, di mana saat tersebut mempelai akan pindah ke ruangan lain tempat tamu undangan menunggu.Â
Kebetulan saya sampai di lokasi jam 12.40, belum jamnya untuk bisa menyalami penganten. Saya diarahkan ke suatu ruangan di sebelah tempat acara adat tengah berlangsung. Ada beberapa hal yang saya kaget dan sekaligus bangga akan nilai-nilai pluralis yang kita anut, yang berjalan baik, termasuk di kota yang relatif jauh dari ibukota provinsi seperti Muaro Bungo ini.
Pertama, setelah mengisi buku tamu dan memasukkan amplop, saya menyadari peti atau kotak tempat amplop-amplop itu ternyata berbentuk rumah gadang mini, rumah adat etnis Minang. Kemudian saya dan rombongan dipersilakan menikmati hidangan. Di tempat makanan tersaji, muncul kekagetan saya yang berikutnya karena ada kertas bertuliskan "Makanan Muslim". Petugas di stand makanan ini kebanyakan berjilbab, dan jenis masakannya adalah versi Minang.
Ternyata di Muaro Bungo adalah kota yang multi etnis. Perantau Minang dan Batak relatif banyak, di tambah tentunya penduduk asli dan juga etnis Jawa, karena di Rimbo Bujang, tak begitu jauh dari Muaro Bungo, adalah daerah transmigrasi. Dengan begitu, jelas sekali kekompakan antar etnis yang saya lihat di acara tersebut. Teman-teman dari Minang seperti yang punya hajat pula, karena mereka semua menjadi panitia untuk menyambut tamu undangan.
Jelas sekali keluarga penganten telah mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Tamu-tamu yang bukan beretnis Batak tetap bisa merasa nyaman dan merasa ikut berbahagia. Apalagi setelah itu, karena harus segera balik ke Jambi, dan menunggu jam 13.30 masih lama, kami diperkenankan masuk ke ruang utama dari lorong samping untuk menyalami penganten beserta orangtua penganten. Sambutan mereka dalam menerima kami demikian baik dan ramah, sekaligus meminta kami untuk berfoto bersama.
Sekilas kami bisa melirik kemeriahan adat Batak. Mungkin kenapa ruangan bagi tamu undangan dipisahkan dari ruang utama adalah karena khawatir tamu undangan akan terganggu waktunya bila menyaksikan prosesi adat yang memakan waktu lama.
Satu hal yang pantas kita apresiasi adalah betapa rasa kebersamaan yang lintas etnis dan agama telah terpelihara dengan baik di Muaro Bungo. Jika satu pihak bergembira, pihak lain juga merasa hal yang sama. Bila satu pihak berduka pihak lain juga merasakan. Baik dalam kebahagiaan maupun dalam kesedihan, semua saling membantu.
Â
Â