Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kemenangan di Masa Pandemi, Sabar dan Syukur Jadi Kunci

13 Mei 2021   11:45 Diperbarui: 13 Mei 2021   15:39 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kepada semua pembaca yang merayakan, perkenankan saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1442 H. Taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal yaa kariim. Mohon maaf lahir dan batin.

Lazim kita mendengar dari penceramah agama, bahwa hari raya idul fitri, atau yang lebih dikenal dengan hari lebaran, disebut juga sebagai hari kemenangan.  

Kemenangan itu didapat setelah berhasil menuntaskan ibadah puasa selama satu bulan. Puasa dalam arti tidak sekadar menahan haus dan lapar, tapi juga mengendalikan diri dari penglihatan, pendengaran, dan perkataan yang tidak baik.

Tentu dalam konteks saat ini, ketika komunikasi lebih banyak dilakukan melalui media sosial, orang yang berpuasa seyogyanya tidak gampang menuliskan atau meneruskan konten yang belum dicek kebenarannya, tidak gampang menyalahkan orang lain, dan sebagainya.

Jelas bukan, bahwa meskipun yang merayakan lebaran di negara kita yang mayoritas muslim ini sangat banyak sekali, yang meraih kemenangan, diduga jauh di bawah jumlah yang merayakan.

Yang meraih kemenangan itulah yang kembali ke fitrahnya yang suci. Konon, ibarat bayi yang baru lahir, tanpa dosa. Memang, pertanyaannya, mampukah selepas bulan suci mempertahankan kesucian tersebut. 

Godaan duniawi begitu banyak. Jadi, anggaplah hari ini kita mencatatkan kemenangan, itu sama sekali bukan kemenangan di partai final. Hanya menang di satu episode kehidupan. 

Makanya, bukan saja karena pandemi, kemenangan di tahun ini tak perlu pakai perayaan yang gempita. Kalaupun ada perayaan, sebaiknya dilakukan secara virtual karena mematuhi ketentuan pemerintah tentang pembatasan sosial dan larangan mudik.

Namun demikian, pada hakikatnya, tanpa pandemi pun, kemenangan di hari lebaran cukup dirayakan secara sederhana. Yang penting, seperti yang telah disinggung di atas, menjadi momen untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Allah.

Sedangkan kepada sesama manusia, baik antar saudara, antar sahabat, kita harus saling memaafkan dan membuang jauh-jauh rasa benci dan permusuhan. 

Lupakan perbedaan pilihan politik, lupakan perbedaan suku dan ras. Bahkan perbedaan agama pun bukan penghalang untuk menjalin silaturahmi. Pemenang sejati tidak mau hidup tersekat-sekat. 

Masalahnya, siapakah pemenang sejati itu? Justru bisa jadi ciri-cirinya adalah mereka yang merasa belum menang, sehingga tak berlebihan dalam melakukan perayaan. 

Makanya kelompok ini sangat sedih ditinggalkan oleh bulan puasa. Penggemblengan untuk mengekang hawa nafasu selama satu bulan, belum cukup.

Mereka masih ingin memperbanyak ibadah dan memperbanyak berbuat baik kepada sesama manusia. Mereka juga selalu melakukan introspeksi dan mengoreksi kesalahan yang pernah diperbuatnya.

Maka tak ada keluhan bagi mereka bila tak boleh mudik. Mereka bersabar dan bersyukur. Justru anggaran untuk mudik bisa dialihkan untuk lebih banyak berinfak dan bersedekah.

Di sisi lain, ada pula yang kelompok yang merugi, tapi ironisnya sudah merasa menang dan pantas merayakan kemenangan tersebut dengan kembali mengumbar nafsu. 

Mereka menikmati aneka makanan istimewa, menggunakan pakaian baru yang menawan, dan berhaha-hihi layaknya orang berpesta. Mungkin mereka memang sudah tak sabar menunggu perayaan ini dan bergembira ketika berakhirnya bulan puasa.

Kelompok yang merugi dan sadar bahwa mereka mereka rugi, agaknya lebih baik daripada kelompok yang merugi tapi sudah merasa menang.

Yang sadar bahwa ia merugi, masih punya harapan untuk meningkatkan ibadahnya di masa datang. Tapi, mereka yang tak sadar kalau merugi, akan lalai dan terlena. Mereka berbelanja, mereka pamer, mereka tampil wah di dunia nyata dan dunia maya.

Lalu, silakan masing-masing kita merenung sejenak, di mana posisi kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun