Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Yang Menolak Divaksin Didominasi oleh Kelompok Haters Jokowi?

25 Januari 2021   10:57 Diperbarui: 25 Januari 2021   11:22 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok. shutterstock/ayojakarta.com

Vaksinasi di negara kita yang bertujuan untuk menghentikan penularan Covid-19, telah dimulai secara serentak di semua provinsi sejak pertengahan Januari 2021. Untuk tahap awal, hanya mereka yang termasuk kriteria tertentu saja yang menerima vaksin, di antaranya para pejabat, tenaga kesehatan, serta anggota TNI dan Polri

Namun demikian, masih saja terdengar suara atau postingan di media sosial yang pada dasarnya menolak untuk divaksin. Awalnya bisa dipahami, mungkin mereka masih ragu atau ingin melihat-lihat dulu.

Tapi, setelah gelombang pertama divaksin tanpa adanya penerima vaksin yang terkena dampak negatif, harusnya telah menyingkirkan keraguan bagi masyarakat. Kenyataannya, jika diamati perbincangan di media sosial, masih saja ada yang menyatakan menolak untuk divaksin. Bahkan, ada yang menuding bahwa Presiden Jokowi divaksin hanya untuk pencitraan.

Hanya saja, apa yang beredar di media sosial, tak bisa langsung dipercaya begitu saja. Berbagai konten yang pada intinya mengatakan bahwa vaksin yang sekarang digunakan di negara kita mengandung bahaya, bisa jadi hoax yang sengaja dibuat oleh oknum tertentu.

Lagipula, mereka yang menolak divaksin, sebagian diduga memang karena alasan ketidaksukaan terhadap Jokowi atau terhadap partai politik yang berkuasa. Dengan menyuarakan penolakan tersebut, mungkin mereka berharap terjadinya kegagalan pemerintah dalam menangani Covid-19.

Ada yang menarik dari survei terbaru Litbang Kompas (kompas.id, 20/1/2021), yang dilakukan terhadap 2.000 responden di 34 provinsi. Hasilnya lumayan bagus, 76 persen responden mengaku bersedia divaksin, dan sisanya cenderung ragu-ragu hingga menolak vaksinasi.

Tingginya minat masyarakat untuk divaksin ditengarai antara lain karena faktor "Jokowi". Artinya, kepemimpinan Jokowi dan tindakannya menjadi orang pertama yang divaksin ikut membangun kepercayaan di tengah masyarakat. Sementara bagi sebagian kalangan bukan pemilih Jokowi pada pilpres 2019 lalu, faktor "Jokowi" justru menjadi penghambat (distorter variable) untuk divaksin.

Begitulah, agak kurang logis memang, bila soal pilihan politik dikaitkan dengan kesediaan atau penolakan untuk menerima vaksin. Bukankah logikanya yang dipertimbangkan adalah manfaat dari vaksin itu sendiri sebagai faktor penarik, atau ditambah dengan faktor kehalalan bagi yang concern dengan itu.

Sedangkan yang menjadi faktor penghambat adalah efek samping yang mungkin timbul atau keyakinan vaksin akan membahayakan tubuhnya. Apalagi vaksin diberikan secara gratis. Sekiranya berbayar, keberatan warga yang tidak mampu, tentu dapat dipahami.

Jadi, sebetulnya tidak ada kaitan langsung dengan politik. Hanya tak dapat dipungkiri, contoh dari seorang pemimpin tentu amat penting, karena masyarakat kita masih banyak yang ingin melihat dulu, baru percaya.

Namun demikian, kita tak bisa menutup mata, sebagian yang menolak, agaknya memang bukan karena alasan pilihan politik. Buktinya, ada juga individu tertentu yang sebetulnya termasuk pendukung Jokowi, seperti Ribka Tjiptaning, anggota parlemen mewakili PDIP, yang juga partai tempat Jokowi bernaung.

Jika memang masih banyak warga yang enggan divaksin, sungguh disayangkan. Padahal, saat vaksinasi pertama kali dilakukan di negara kita dan yang menerima suntikan vaksin adalah Presiden Jokowi, liputannya banyak muncul di media massa. 

Demikian pula ketika para pejabat di semua provinsi mendapat suntikan vaksin, beritanya tersebar luas. Bukankah seharusnya hal itu bisa mengurangi keraguan masyarakat. Apalagi tidak ditemukan adanya dampak negatif yang signifikan bagi penerima vaksin.

Namun demikian, dugaan bahwa masyarakat akan antusias ingin divaksin, kalau perlu saling berebut agar lebih cepat mendapatkannya, tidak mengemuka di media massa maupun di media sosial.

Bisa jadi karena stok vaksin memang belum banyak. Bukankah ini baru tahap pertama dan masih diprioritaskan bagi tenaga kesehatan? Atau, bila nanti vaksin yang diproduksi bukan oleh negara China (yang sekarang tersedia adalah merek Sinovac buatan China), baru banyak yang ingin divaksin? Kita tunggu saja bagaimana perkembangannya.

Tapi, bagaimanapun juga, vaksinasi amat diperlukan, dan itu dilakukan bersamaan dengan menggalang kepatuhan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, agar kita secepatnya tidak lagi dihantui penularan Covid-19.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun