Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Nasib Dosen Tidak Tetap yang "Ngamen" di Beberapa PTS

14 Oktober 2020   00:08 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:42 2097
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara umur, saya tergolong dosen yang sudah berusia tua, saat mengambil kesempatan untuk mengajar mata kuliah Akuntansi di sebuah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi yang dikelola oleh sebuah yayasan yang ada hubungan tidak langsung dengan sebuah lembaga pelatihan bagi karyawan bank.

Namun, dari sisi jam terbang, saya tergolong junior, apalagi status saya adalah dosen tidak tetap. Memang, pekerjaan utama saya bukan dosen, hanya sebagai upaya untuk mencari kesibukan seiring dengan datangnya masa pensiun dari sebuah perusahaan milik negara.

Maka tolong jangan tanyakan apa keuntungan yang saya peroleh secara finansial dari kegiatan mengajar itu, karena bukan itu motif utama saya.

Mengajar adalah cara saya untuk belajar kembali, karena buku teks yang dipakai saat ini sudah banyak mengalami perubahan ketimbang yang saya pelajari lebih dari 30 tahun lalu.

Di samping itu, dengan pengalaman saya mempraktikkan akuntansi secara nyata di tempat saya bekerja, menurut saya perlu dibagikan kepada mahasiswa, agar mereka tidak hanya memahami sisi teoritis semata.

Apalagi kalau melihat soal-soal untuk latihan, jika mengandalkan buku teks, hanya memakai kasus-kasus di Amerika Serikat yang tidak semua relevan dengan kondisi Indonesia.

Mata kuliah yang saya pegang bernilai 3 satuan kredit semester (SKS). Pada semester yang lalu, saya kebagian jadwal setiap Rabu pagi, dari pukul 08.00 hingga 10.30 (1 SKS berdurasi 50 menit).

Kalau tidak keliru, setiap SKS-nya dihargai Rp 75.000. Lalu ada uang transportasi Rp 50.000 per hari kedatangan. Atas honor yang diterima langsung dipotong pajak sebesar 5 persen.

Setiap bulan, rata-rata saya menerima honor sekitar Rp 1 juta. Namun saya juga mengeluarkan uang pribadi untuk ongkos taksi Rp 100.000 setiap kali datang. Kalau dihitung-hitung, saya menerima bersih sebesar Rp 600.000 per bulan. 

Jangan dikira saya bekerja di Rabu pagi saja. Karena saya harus membaca buku, membuat soal latihan, membuat slide presentasi, membuat soal ujian, memeriksa lembar jawaban mahasiswa, dan juga memberi nilai. Ada juga tetek bengek lainnya yang bersifat laporan administrasi rencana perkuliahan dan pelaksanaannya.

Jelaslah, bila hanya berburu uangnya, menurut saya belum worth it. Apalagi saya beberapa kali mengajar di pusdiklat sebuah perusahaan dengan audiens para karyawan, honornya beberapa kali lipat dari yang saya terima sebagai dosen tidak tetap.

Dulu ada teman saya yang dengan bangga mengatakan dari hasil mengajar di 4 buah perguruan tinggi swasta (PTS), ia berhasil mendapatkan uang setiap bulannya sekitar Rp 900.000 pada tahun 1988. Itu jumlah yang bikin saya ngiler, karena sebagai staf junior di sebuah BUMN ketika itu saya baru menerima Rp 350.000 per bulan.

Atau kalau disetarakan dengan kondisi saat ini, staf junior katakanlah bergaji Rp 6 juta, maka dosen tidak tetap yang rajin ngamen di banyak PTS, mungkin saja menerima Rp 15 juta, jika ia mengajar sebanyak 45 SKS per minggu. Itu berarti ia mengajar full time sepanjang hari Senin hingga Jumat.

Kenyataannya, sangat jarang dosen yang kuat mengajar sebanyak 45 SKS, apalagi bagi dosen yang telah berusia di atas 50 tahun. Teman-teman saya yang "tukang ngamen" rata-rata hanya kebagian 6 SKS di sebuah PTS dan maksimal mengajar di 3 PTS saja. Itupun setiap semester ia dilanda kecemasan, apakah masih kebagian mengajar atau tidak, karena hanya dikontrak setiap semester.

Bila mahasiswa baru di sebuah PTS makin sedikit, maka jumlah kelasnya juga sedikit dan ototmatis tidak membutuhkan banyak dosen. Maka saya berani menyimpulkan bahwa semata-mata menjadi dosen tidak tetap tanpa sumber penghasilan lain, harus banyak berhemat agar penghasilannya mencukupi.

Saya tidak kaget ketika seorang teman sesama dosen tidak tetap pernah meminjam uang yang hingga sekarang belum ia kembalikan. Saya duga ia jujur mengatakan uang tersebut untuk makan sehari-hari, yang bikin saya tidak tega untuk tidak membantu.

Tapi, dibandingkan guru sekolah swasta, cara menghitung honor dosen tidak tetap, sudah benar. Untuk guru, hitung-hitungannya agak manipulatif. Seorang guru yang mengajar katakanlah setiap harinya 6 jam atau 30 jam seminggu, mendapat honor 30 jam yang dihitung untuk sebulan. Artinya, mengajar sebulan, tapi yang dibayar hanya seminggu.

Di mata masyarakat, dosen tidak tetap mungkin lebih bergengsi daripada guru sekolah swasta. Paling tidak, dilihat dari penampilannya, dosen terlihat lebih oke.

Tapi, di balik penampilan itu, sebetulnya banyak dosen tidak tetap yang kehidupannya belum mapan, dalam arti tidak banyak yang tersisa untuk menabung atau untuk berinvestasi.

Tingkat kesejahteraan para pengajar, baik guru maupun dosen, sedikit banyak berkorelasi dengan kualitas pendidikan. Contohnya mutu sekolah negeri mulai meningkat setelah guru yang berstatus PNS dan bersertifikasi, mendapatkan penghasilan yang lebih memadai ketimbang sebelumnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun