Surat tersebut akan diserahkan kepada komisaris utama sebagai pemimpin rapat, ketika RUPS sudah menginjak agenda pembahasan pergantian pengurus BUMN. Surat itulah yang dibacakan komisaris utama untuk dimintakan persetujuan forum RUPS. Agenda yang hot dan diburu para jurnalis ini lazimnya menjadi agenda terakhir setelah pembahasan kinerja perusahaan.
Bisa ditafsirkan, bahwa penetapan pergantian direksi dan komisaris betul-betul menjadi bola liar dan sampai detik-detik terakhir masih terbuka kemungkinan untuk berubah. Makanya lobi-lobi dari berbagai pihak, sangat diperlukan. Â Komisaris tidak dilibatkan karena adakalanya justru komisaris yang akan diganti.
Tak heran, di BUMN yang berstatus perusahaan terbuka, yang sebagian sahamnya dimiliki publik, RUPS sering tertunda beberapa jam. Itu diduga karena alotnya lobi-lobi. Hal ini membuat para pemegang saham publik kecewa.Â
Contohnya, ada BUMN yang telah mengagendakan memulai RUPS, katakanlah pada jam 2 siang, tapi terkadang baru mulai rapat dua jam kenudian. Mungkin karena surat kementerian BUMN yang akan dibacakan saat RUPS, khususnya menyangkut pergantian direksi dan komisaris, masih digodok.
Kalau berbicara formalitas, jauh sebelum RUPS, sudah ada surat resmi dari BUMN yang akan menggelar RUPS. Surat tersebut ditujukan kepada Menteri BUMN dan merupakan hasil pembahasan bersama antara direksi dan komisaris, berisikan nama-nama kader perusahaan yang sekarang mengisi jabatan satu lapis di bawah  direksi tapi dinilai layak dipromosikan jadi anggota direksi.Â
Tapi secara informal, direksi melobi langsung, komisaris juga begitu, bahkan pihak luar yang ingin masuk melakukan hal yang sama. Akhirnya, bisa saja surat yang dikirimkan BUMN tersebut menjadi sia-sia. Makanya, seperti apa mekanisme pergantian direksi BUMN, apakah keinginan Ahok agar komisaris tidak dilangkahi, akan diakomodir, menarik untuk ditunggu.Â