Tulisan ini terinspirasi dari chatting dengan seorang teman. Kebetulan ia seorang prempuan, ibu rumah tangga biasa yang sumber keuangannya bersumber dari suaminya saja.Â
Eh maaf, maksud saya ia adalah ibu rumah tangga yang luar biasa karena mampu melakukan berbagai tugas rumah tangga, termasuk dulu mengantar jemput beberapa anaknya ke atau dari sekolah. Sekarang semua anaknya sudah jadi sarjana.
Tak perlu saya tuliskan apa konteksnya, tiba-tiba teman itu menulis bahwa ia punya motto kehidupan menomorsatukan kejujuran. Kejujuran secara total, katanya. Sehingga selama puluhan tahun berumah tangga, ia tidak berani membuka dompet suaminya secara diam-diam.
Bahkan suatu kali suaminya dirawat di rumah sakit, dompet suaminya sampai kehilangan, gara-gara teman saya tidak ngeh kalau dompet suaminya ada di lemari dekat tempat tidur. Saat suaminya dibawa ke ruangan lain untuk suatu tindakan medis, dompet itu tertinggal di kamar perawatan.
Oke, hanya itu saja cerita tentang teman saya. Sekadar latar belakang saja. Menurut saya, paling tidak ada dua benda yang sangat bernilai secara privacy bagi siapapun, termasuk bagi pasangan rumah tangga, yakni dompet dan hape.
Saya bercerita dulu tentang pengalaman saya bersama istri. Hingga saat ini kami telah 28 tahun menikah, dan beberapa bulan lagi akan ulang tahun pernikahan yang ke 29, walaupun kami tak punya budaya merayakan ulang tahun pernikahan atau ulang tahun saya dan juga ulang tahun istri.
Saya bekerja dan istri saya juga bekerja. Masing-masing punya penghasilan. Tapi saya sebagai kepala rumah tangga tentu tahu dengan tanggung jawab. Bagi saya uang suami adalah uang istri juga, sedangkan uang istri adalah uang istri, yang bebas ia gunakan untuk apapun.Â
Maka setiap menerima gaji, uang untuk keperluan rumah tangga selama satu bulan saya serahkan ke tangan istri. Istri saya pun tahu, tidak semua gaji saya serahkan, karena sebagian masuk tabungan. Bila  melewati jumlah tertentu, sebagian tabungan saya belikan kepada surat berharga seperti obligasi yang diterbitkan pemerintah.
Kebetulan saya punya latar belakang pendidikan  di bidang ekonomi. Meskipun istri saya tidak begitu memahami tentang mekanisme berinvestasi pada surat-surat berharga seperti saham, obligasi, atau reksadana, ia percaya sepenuhnya kepada saya.
Bila saya mentransfer uang kepada beberapa famili di kampung atau di tempat lain, yang kondisi ekonominya layak untuk dibantu, sama sekali tidak ada keberatan dari istri saya. Sering saya melakukan transfer lebih dulu, baru saya laporkan.
Di tempat saya bekerja, dalam setahun ada dua kali pembagian bonus, di luar THR saat lebaran. Ada lagi penghasilan lain bila ada job tambahan seperti dinas ke luar kota, menjadi pengajar di pusdiklat perusahaan, menjadi tim pewawancara untuk merekrut karyawan baru atau karyawan yang akan dipromosikan, dan sebagainya.