Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mahathir Geram, Suku Melayu Tetap Miskin

17 September 2019   13:35 Diperbarui: 17 September 2019   13:52 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Belum lama ini seorang bos perusahaan taksi di Malaysia menyindir Indonesia sebagai negara miskin. Karena kemiskinan itulah jasa ojek motor berkembang pesat di Indonesia.

Komentar bos taksi tersebut konteksnya berkaitan dengan rencana Gojek melebarkan sayapnya dengan memasuki negara tetangga tersebut. Si bos taksi menolak ekspansi itu karena Gojek tak cocok dengan Malaysia yang bukan negara miskin.

Tapi ucapan si bos seolah dikoreksi oleh Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad yang melontarkan pernyataan dengan nada geram. Kata Mahathir, warga Melayu di Malaysia tetap saja miskin.

Seperti dilansir dari kontan.co.id (9/9/2019), orang-orang suku Melayu terus menerus miskin karena tak mau bekerja keras, kata Mahathir. Ia pun mengkritik sifat warga Melayu yang malah menyalahkan etnis lain karena kesuksesan mereka.

Lebih jauh Mahathir menulis dalam blog-nya sebagai berikut; "Orang Melayu harus menyadari apa yang terjadi pada mereka. Sayangnya mereka belum sadar. Orang asing telah membanjiri negara kita. Tujuh juta orang asing ada di sini. Mereka bekerja. Apa yang akan terjadi pada orang Melayu?".

Perlu dicatat, jumlah penduduk Malaysia sendiri saat ini sekitar 31 juta jiwa. Bayangkan kalau 7 juta orang asing ada di Malaysia, itu jumlah yang sangat signifikan karena hampir mencapai 25%.

Namun mengingat Mahathir hanya menyebut angka 7 juta orang, jelas yang dimaksud orang asing adalah mereka yang bukan warga negara Malaysia, tapi pendatang yang mencari kerja ke Malaysia setelah mereka berusia dewasa, termasuk para tenaga kerja asal Indonesia. Selain itu, banyak juga pekerja asal Bangladesh, Myanmar, dan Filipina.

Sedangkan yang menjadi warga negara Malaysia itu sendiri juga banyak sekali yang bukan bersuku Melayu. Hanya sekitar 60% orang Melayu. Sisanya adalah dua kelompok besar yang sudah turun menurun menjadi penduduk Malaysia sejak dulu menjadi koloni Inggris yakni yang berdarah Tionghoa dan India.

Masih dari berita kontan.co.id di atas, Mahathir juga mengatakan bahwa orang Melayu tidak serius dalam melakukan bisnis. Nah kalau begitu tampaknya yang disasar sebagai pembanding bukan pendatang saja tapi juga warga negara Malaysia keturunan Tionghoa, karena kenyataannya untuk perkembangan bisnis sebagian besar dikuasai oleh keturunan Tionghoa.

Soalnya, kalau pekerja pendatang dicemburui seperti para TKI, rasanya salah alamat. Bukankah para TKI kebanyakan bekerja sebagai buruh perkebunan dan para tukang di sektor konstruksi, di samping para TKW yang menjadi asisten rumah tangga.

Semua pekerjaan yang digeluti TKI itu tergolong pekerjaan "kasar" yang tampaknya sangat tidak diminati oleh orang Melayu. Bahkan mereka lebih baik menganggur ketimbang melakukan pekerjaan seperti itu.

Justru tanpa kehadiran para TKI, pembangunan di Malaysia bisa terancam kelangsungannya. Selama ini TKI di Malaysia dibenci karena dianggap banyak yang datang secara illegal, namun sekaligus dirindukan pengusaha yang ingin mendapatkan tenaga kerja yang mau dibayar murah.

Orang Melayu lebih banyak memilih menjadi pegawai, atau istilah di sana adalah kerani. Banyak pula yang berbisnis atau berwiraswasta, namun hanya pada skala kecil, sedangkan yang berskala besar kalah bersaing dengan pengusaha warga keturunan.

Jelaslah bahwa masalah di Malaysia, meskipun secara umum lebih makmur dari Indonesia, tapi punya problem sosial yang relatif sama dengan yang kita hadapi, yakni belum terbentuknya etos kerja masyarakat yang menunjang berkembangnya kewirausahaan.

Tanpa bermaksud diskriminatif, harus diakui bahwa saudara kita keturunan Tionghoa lebih ulet dalam berusaha dan makanya juga lebih sukses. Ini yang perlu dicontoh. Bahwa sukses tak bisa dibangun dalam waktu singkat, harus melewati tahap jatuh bangun yang dihadapi dengan penuh kedisiplinan dan jiwa pantang menyerah.

Tak kalah pula pentingnya membangun integritas. Kenapa dagangan saudara kita berdarah Tionghoa lebih laris? Karena konsumen tidak merasa tertipu, barang kualitas rendah tidak dibilang sebagai barang bermutu tinggi. Harganya juga lebih miring agar perputaran barang lebih cepat.

Di lain pihak sering kita melihat warga asli di suatu daerah yang enggan berusaha karena tak mau memulai dari skala yang paling kecil, misalnya berdagang di kaki lima. Mereka inilah yang sering minta kemudahan dalam mendapatkan modal usaha. Celakanya begitu diberi bantuan modal, sering dipakai buat keperluan konsumtif, sehingga akhirnya usahanya tetap tidak berkembang.

Maka terhadap pernyataan Mahathir di atas, perlu kita mengambil hikmahnya. Kalau orang Melayu Malaysia yang relatif lebih makmur dari kita disindir demikian keras oleh pemimpinnya sendiri, kita harus berusaha lebih gigih agar tidak semakin tertinggal dari Malaysia.

.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun