Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Ulah Suporter Sangat Memalukan, Refleksi Carut-marut Kehidupan Kita?

6 September 2019   13:10 Diperbarui: 6 September 2019   13:13 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dok Kompas/Rony Arianto Nugroho

Begitu wasit meniup pluit tanda berakhirnya pertandingan antara timnas Indonesia melawan Malaysia di Gelora Bung Karno (GBK) tadi malam, Kamis (5/9/2019) yang saya tonton melalui layar kaca, saya sudah gak kepikiran buat menuliskan opini saya di Kompasiana.

Kekalahan 2-3 yang amat menyakitkan menyurutkan motivasi saya buat menulis. Sudahlah, kalah ya kalah saja, saya langsung ke kamar tidur, dan alhamdulillah bisa tidur nyenyak.

Tapi ketika pagi harinya, seperti biasa saya memelototi siaran berita dari Kompas TV, saya terperangah dengan berita tindakan anarkis yang dilakukan sebagian suporter kita.  Agar lebih lengkap informasinya, saya juga membaca harian Kompas dan berita dari media daring termasuk tulisan teman-teman kompasianer.

Di situlah saya baru ngeh, bahwa terhentinya pertandingan selama sekitar 10 menit di pertengahan babak kedua, adalah karena ulah oknum suporter yang mencoba melewati pagar pembatas tribun untuk menyerang ratusan suporter Malaysia yang ditempatkan di satu blok khusus. Di layar kaca, kamera tidak menyorot ke sumber kericuhan tersebut.

Andritany yang merupakan kapten timnas kita langsung mendekati tribun penonton dan mengimbau penonton untuk tidak bikin onar. Menurut Andritany yang berposisi sebagai penjaga gawang, setelah pertandingan dilanjutkan kembali, konsentrasinya dan juga pemain timnas Indonesia lainnya langsung menurun.

Apakah penurunan konsentrasi menjadi alasan kekalahan kita? Boleh jadi, namun hanya merupakan salah satu faktor, karena faktor utama harus diakui stamina para pemain tidak siap buat bermain prima sepanjang 90 menit dan koordinasi antar pemain yang tidak berjalan baik.

Okelah di atas saya sudah bilang tidak akan menuliskan sisi permainannya. Saya hanya ingin mengangkat, betapa kita terpukul dua kali. Kekalahan di lapangan hijau yang menyakitkan, dan gagal menjadi tuan rumah yang baik karena perilaku oknum suporter yang menjijikkan. 

Karena soal kalah menang dalam olahraga, memang sudah konsekuensinya, maka saya lebih menyoroti sisi perilaku suporternya. Sebetulnya sejak awal pertandingan, seperti yang ditulis Kompas, para suporter Indonesia sudah melontarkan kata-kata kasar pada para suporter Malaysia.

Sayangnya aparat keamanan kurang sigap sehingga lahirlah insiden di babak kedua saat sebagian suporter kita mulai melemparkan botol ke arah suporter tamu. 

Kericuhan makin menjadi-jadi seusai pertandingan. Di halaman GBK, polisi terpaksa menembakkan gas air mata ke arah kerumunan suporter yang berusaha menyerang polisi.

Sementara itu para pemain Malaysia bersama ratusan suporternya, termasuk Menteri Olahraganya yang masih amat muda dan berwajah ganteng, Syed Saddiq, tertahan tidak bisa keluar stadion. 

Di akun instagramnya, Syed Saddiq menulis kesaksiannya bahwa ia melihat botol, besi dan suar yang dilemparkan suporter Indonesia ke tempat suporter Malaysia.

Butuh waktu lama tamu-tamu kita dari negara serumpun itu tertahan di GBK, sampai kemudian kembali ke hotel tempat mereka menginap dengan mendapat pengawalan khusus dari pihak kepolisian. 

Bertanding di GBK betul-betul tidak nyaman bagi para pemain Malaysia dan pendukungnya. Terjawab sudah kenapa sudah tiga kali PSSI melayangkan surat ke FAM (PSSI-nya Malaysia) meminta diadakan laga uji coba Indonesia-Malaysia, selalu ditolak mereka. Sampai akhirnya bertemu di laga yang tak bisa dielakkan, pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 yang telah berlangsung ricuh itu.

Sebetulnya banyak aksi positif mayoritas suporter kita yang mampu menampilkan berbagai atraksi menarik dari bangku tribun penonton. Tapi semua itu tidak bakal dikenang oleh tamu kita, selain kebrutalannya.

Kita pantas kecewa dengan para suporter itu. Tapi bukankah hal tersebut sebagai refleksi dari carut-marut kehidupan kita? PSSI penuh carut-marut, tahun lalu terbongkar kasus mafia bola. 

Carut-marut tersebut menjadi semakin jelas dalam kancah politik. Semua siap menang, tapi tak siap kalah. Butuh waktu lama bagi yang kalah untuk mengakui kekalahannya, bahkan sebagaian pendukung kubu yang kalah masih saja melakukan ujaran kebencian. 

Ya, bukankah wajah suporter tersebut adalah cermin dari wajah kita sendiri yang suka memakai cara kekerasan untuk menyelesaikan berbagai persoalan? 

Contohnya ketika saya mau menutup tulisan ini, sebuah stasiun televisi menayangkan berita tawuran yang terjadi hari ini dekat Stasiun Kereta Api Manggarai, Jakarta Selatan.

Saking seringnya tawuran seperti itu di beberapa tempat di ibu kota, saya malah tidak menganggapnya sebagai berita lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun