Mohon tunggu...
Irwan Rinaldi Sikumbang
Irwan Rinaldi Sikumbang Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

menulis untuk menikmati kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Tiap Hari, Uni Des Tempuh 40 Km ke Payakumbuh Demi Jajakan Nasi Kapau

18 Juli 2019   08:45 Diperbarui: 19 Juli 2019   15:23 1479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uni Des melayani pelanggannya (dok pribadi)

Ini kisah yang tercecer dari catatan saya saat pulang kampung ke Payakumbuh, 5-7 Juli 2019 lalu. Beberapa tulisan saya yakni tentang pengalaman naik kereta api dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ke kota Padang, menikmati kuliner malam di kawasan pecinan Padang, dan mencicipi nikmatnya minum kopi kawa daun di Desa Tabek Patah, sebuah desa yang terletak antara kota Payakumbuh dan Batusangkar, telah saya tayangkan.

Ternyata setelah saya melihat foto-foto yang saya simpan di hape, masih ada yang belum sempat saya tulis, ketika saya makan Nasi Kapau yang dijual Uni Des yang membuka semacam warung tenda di emperan Pasar Payakumbuh. Saya ke sana pada hari Minggu sekitar jam 9 pagi (7/7/2019) sebelum bersiap-siap ke BIM lagi untuk selanjutnya terbang ke Jakarta di sore hari.

Nasi kapau lauk kikil (dok pribadi)
Nasi kapau lauk kikil (dok pribadi)
Sebetulnya saya tidak begitu antusias ketika seorang teman saya waktu sekolah dulu bercerita ada Nasi Kapau yang enak di Payakumbuh. Setahu saya kalau mau makan Nasi Kapau, yang paling pas ya ke Bukittinggi, karena ada beberapa warung nasi Kapau yang terkenal. Antara lain, Nasi Kapau Uni Lis di Pasar Atas. 

Bagi yang belum tahu, Kapau adalah nama nagari (sebutan desa di Sumbar) yang tidak begitu jauh dari Bukittinggi, dapat ditempuh sekitar 20 menit saja. Desa ini terkenal karena banyak menghasilkan penjual nasi yang masakannya agak berbeda dengan masakan Padang lainnya. 

Penjual nasi Kapau sekarang sudah menyebar ke berbagai kota besar di Nusantara. Bagi yang tinggal di Jakarta dapat menikmatinya di Jalan Kramat dekat perempatan Pasar Senen.

Tampilan warungnya berbeda, karena aneka lauk pauk tidak disusun di balik kaca depan dekat pintu masuk seperti warung Padang lain, namun ditaruh di beberapa wadah yang lebar dan disusun di atas meja tanpa kaca (lihat foto paling atas).

Yah, mungkin saja si teman memancing agar saya mentraktirnya. Boleh juga sih, namanya juga pulang kampung. Maka di Minggu pagi yang sedikit gerimis tersebut kami pun menjajal nasi Kapau.

Sebetulnya agak di luar kebiasaan juga, karena pedagang nasi lazimnya beroperasi untuk makan siang sampai makan malam. Untuk pagi hari, yang laris adalah lontong sayur, gado-gado, mie pecel, bubur kampiun, atau aneka gorengan.

Satu porsi nasi kapau dengan lauk kalio hati sapi (dok pribadi)
Satu porsi nasi kapau dengan lauk kalio hati sapi (dok pribadi)
Tapi ternyata yang di luar kebiasaan itulah yang laku. Yang saya lihat sendiri, Uni Des dan 2 orang asistennya cukup kewalahan melayani pembeli. 

Mungkin karena bangku yang tersedia berupa bangku panjang di tiga sisi, total hanya bisa menampung 12 orang (satu sisi untuk 4 orang), banyak yang akhirnya minta dibungkus untuk dibawa pulang. Justru lebih untung, karena kalau dibungkus nasinya lebih banyak, bisa untuk 2 orang.

Rombongan saya yang berjumlah 4 orang beruntung karena begitu masuk ada pengunjung sebelumnya yang siap-siap meninggalkan tempat. Saya memesan nasi dengan lauk gulai tunjang (kikil). Teman-teman lain ada yang memesan lauk kalio hati sapi, ayam panggang, dan ada pula yang memesan rendang daging.

Semua lauk utama tersebut akan mendapat lauk pendamping sesuai standar nasi Kapau seperti sayur nangka, sayur kol, sedikit rendang singkong, potongan tambunsu (usus sapi yang diisi telor) dan sambal goreng merah. Wuihh, betul-betul nendang.

Sambil makan, saya secara tak langsung mewawancari si penjual, makanya saya tahu namanya Uni Des (di layar penutup warung hanya tertulis "Nasi Kapau" saja tanpa nama tertentu).

Tapi saya takut menanyakan berapa usianya, konon hal ini sensitif buat wanita. Dugaan saya Uni Des berusia sekitar 40-an tahun. Badannya berisi, mungkin pertanda kemakmuran. Ya iyalah, warungnya laris manis.

Uni Des ternyata sampai sekarang tinggal di Kapau, dan setiap hari ia bolak balik ke Payakumbuh yang berjarak sekitar 40 Km. Saya menilai Uni Des jeli melihat peluang, karena kalau berjualan di Bukittinggi sudah banyak saingan. Sementara di Payakumbuh hanya ada 2 warung nasi Kapau, itupun bukan di dekat pasar.

Tapi saya tidak sempat bertanya kenapa ia tidak mencari tempat tinggal saja di Payakumbuh. Yang saya ingat dari cerita Uni Des, setiap hari ia bangun jam 4 pagi, langsung berangkat ke Payakumbuh.

Sesampainya di Pasar Payakumbuh biasanya pas azan subuh berkumandang. Tak lama kemudian ia sudah siap melayani pembeli. Kalau lagi ramai, jam 10 dagangannya sudah habis. Tapi sesepi-sepinya, jam 12 siang baru habis.

Uni Des dan asistennya kembali ke Kapau sehabis stock dagangannya. Sorenya ia membeli bahan yang akan dimasak malamnya. Sehabis salat Isya, ia tidur sampai jam 1 malam, kemudian bangun untuk memasak sampai jam 3.

Setelah itu Uni Des sempat tidur satu jam lagi sebelum berangkat ke Payakumbuh. Begitulah siklus kesehariannya yang menurut saya merupakan cermin keuletannya seorang perempuan Minang dalam berusaha.

Kesan saya Uni Des sangat menikmati pekerjaannya. Ia melayani pembeli dengan ramah dan tidak hitung-hitungan memberikan lauk pendamping. Makanannya selalu dalam kondisi panas, bikin pelanggan ketagihan.

Satu porsi Nasi Kapau dengan satu lauk utama dan aneka lauk pendamping, dijual seharga Rp 25.0000. Menurut saya itu harga yang wajar, dan buktinya terjangkau oleh konsumennya.

Hanya saja karena warung Uni Des tergolong pedagang kaki lima, tentu kenyamanannya kalah jauh ketimbang makan di restoran, apalagi dalam kondisi hujan.

Dok pribadi
Dok pribadi
Desa Kapau, kata teman saya lagi, sekarang sudah berkembang jadi desa wisata kuliner karena di sana banyak warung nasi Kapau. Rupanya sejak semua orang sudah punya kendaraan pribadi, minimal roda dua, timbul keinginan menikmati Nasi Kapau di kampung asalnya.

Dulu, kampung itu sepi karena pedagang nasinya berjualan di Pasar Bukittingggi atau bahkan merantau ke berbagai kota lain. Kapan-kapan saya ingin menjajal Nasi Kapau di Kapau itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun