Executive Lounge (selanjutnya ditulis EL) lazim terdapat di banyak bandara di negara kita. Bandara kelas sedang di ibu kota provinsi, rata-rata punya 2 buah EL. Tentu bandara yang lebih sibuk seperti di Soekarno-Hatta Jakarta, Juanda Surabaya atau Ngurah Rai Bali, EL-nya lebih banyak lagi.
Kebetulan, hari Minggu (5/5/2019) lalu, setelah tiga hari berada di kampung halaman di Payakumbuh dan Bukittinggi, Sumbar, saya harus kembali ke Jakarta naik pesawat dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM) Padang.
Mengingat hari itu adalah hari terakhir sebelum masuk bulan puasa, saya khawatir jalan raya Payakumbuh-Padang akan macet parah, karena warga Sumbar punya tradisi balimau menyambut bulan puasa, dengan beramai-ramai pergi ke tempat wisata yang ada pemandian umum.
Eh ternyata perjalanan saya lancar jaya, sehingga alhasil saya kecepatan sampai di BIM. Ada sekitar 4 jam waktu kosong saya sebelum boarding. Untung saja kartu debit saya yang diterbitkan oleh sebuah bank milik negara berlaku di sebuah EL di BIM.
Hanya saja saya sungguh heran, kenapa EL tersebut sepi sekali? Saya hitung selama 4 jam saya di sana, jumlah tamunya hanya sekitar belasan orang saja. Padahal kapasitasnya lumayan banyak.
Menjadi pertanyaan di benak saya, seberapa menguntungkan bisnis EL tersebut? Soalnya saya tahu EL yang saya masuki itu memakai nama baru, dan benar saja, kata resepsionisnya baru launching beberapa bulan yang lalu.
Mungkin saja pengelola yang lama mengalami kebangkrutan, karena saya juga menemui kondisi yang sama, sangat sepi, waktu EL di BIM masih memakai nama yang lama.
Memang pelanggan EL dari pengamatan saya sekilas, kebanyakan yang seperti saya, maksudnya yang mempunyai kartu tertentu yang bisa gratis masuk EL. Padahal bank semakin memperketat memberikan kartu yang ada fasilitas khususnya seperti masuk EL, hanya bagi nasabah prioritas saja.
Kalau tak punya kartu yang diterima EL, bagi ukuran kantong saya, terasa mahal bila harus membayar Rp 100.000 sampai Rp 150.000 untuk sekadar bisa duduk dengan nyaman serta memakan kudapan yang tidak begitu banyak jenisnya.
Bila makanan di EL-nya bervariasi dan enak seperti yang saya temui di sebuah EL di Bandara Juanda Surabaya, mungkin pengunjung yang tidak berkartu, tidak keberatan merogoh koceknya.Â
Tapi untuk EL lain yang hanya menyediakan beberapa jenis jajanan pasar plus minuman, sayang sih kalau harus bayar mahal. EL seperti ini yang mengandalkan pemegang kartu.
Dulu di era setiap orang punya banyak kartu dan bank jor-joran memberikan fasilitas kepada nasabah, EL lumayan laris. Tapi lama-lama bank tentu gak tahan juga menerima tagihan dari EL. Pelanggan EL memang gratis, tapi pihak EL akan menagih ke bank penerbit kartu.
Jangan heran kalau dulu ada bank yang membebaskan penggunaan kartu tertentu untuk masuk EL kapan saja yang satu kartu berlaku buat 2 orang. Tapi sekarang ada bank yang membatasi satu kartu hanya untuk satu orang dan maksimal digunakan sebanyak 2 kali dalam sebulan.
Sebetulnya bank berharap dengan fasilitas yang diberikan kepada pemegang kartu, akan terjadi cross-selling di mana si pemegang kartu akan semakin sering menggunakannya untuk bertransaksi.Â
Setiap transaksi tersebut akan dikenakan biaya yang relatif kecil sehingga si pemegang kartu tidak menyadari. Namun bila transaksi itu frekuensinya lumayan sering, bukankah bank akan menuai untung juga? Itu yang disebut fee based income bagi orang bank.
Sayangnya yang terjadi bukan seperti yang diharapkan pihak bank, sehingga sekarang bank terpaksa memperketat fasilitas yang diberikan bagi pemegang kartu. Akhirnya yang terkena imbas adalah penyedia EL, yang selama ini mengandalkan kerja sama dengan bank penerbit kartu.