Berkaitan dengan bertubi-tubinya bencana alam yang menimpa negara kita tercinta, terbetik komentar Gubernur Sumatera Barat (Sumbar) yang amat menyadari bahwa kota Padang yang berstatus ibukota provinsi, sangat rawan bencana, sama halnya dengan ibukota provinsi lain seperti Banda Aceh, Bengkulu dan Palu.
Komentar tersebut dimuat oleh beberapa media daring Kamis (11/10) kemaren, antara lain di Jawapos.com. Menurut Irwan Prayitno, sang gubernur tersebut, selayaknya ibukota provinsi dipindahkan dari Padang yang terletak di pinggir pantai ke kota lain yang berada di dataran tinggi.
Hanya saja beliau menyadari amat sulit untuk mewujudkan rencana tersebut karena terkendala dengan penyediaan anggaran yang pasti membutuhkan dana yang amat besar. Lagipula, sebelumnya tentu harus dibuat pula kajian yang mendalam dari berbagai aspek.
Ada dua tempat yang disebut-sebut sebagai calon ibukota yang baru. Pertama, Aia Pacah, yang sebetulnya masih termasuk wilayah Padang, tapi agak jauh dari pusat kota sekaligus jauh dari pantai, serta agak tinggi dari permukaan laut.
Lahan bekas terminal Aia Pacah kemudian menjadi lokasi gedung Balaikota Padang yang baru sejak tahun 2013. Gedung lama berupa peninggalan Belanda berada di pusat kota dan sudah tidak memadai kapasitasnya.
Adapun gedung kantor gubernur, meskipun lumayan rusak akibat gempa tahun 2009, hanya direnovasi saja. Sekarang tampilannya yang masih tetap memakai arsitektur rumah adat Minang, sudah lumayan cantik, tapi kalau digoyang gempa lagi, daya tahannya diragukan.
Hanya karena Aia Pacah secara administrasi masih termasuk kota Padang, maka kalaupun nanti kantor gubernur dipindahkan dari pusat kota sekarang ke Aia Pacah, nama ibukota provinsi tetap saja Padang.
Payakumbuh terletak sekitar 570 meter di atas permukaan laut, sehingga udaranya nyaman, tidak kelewat panas atau kelewat dingin. Kontur tanahnya relatif datar dengan masih banyak lahan yang bisa dibangun menjadi area perkantoran.
Sebetulnya kota kedua di Sumbar setelah Padang adalah Bukittinggi. Namun Bukittinggi sudah amat padat dan sangat sulit mencari lahan luas untuk pembangunan gedung baru. Lagipula tanahnya berbukit, sebagian konturnya miring.
Kemudian dilihat dari perkembangan ekonomi di Pulau Sumatera, sejak dua dekade terakhir telah terjadi pergeseran dari pantai barat (Padang, Sibolga dan Bengkulu berada di sini) ke pantai timur yang berdekatan dengan Singapura, sehingga provinsi Riau, Kepulauan Riau, dan Jambi, mengalami pertumbuhan yang pesat.
Nah, Payakumbuh adalah kota di Sumbar yang paling dekat dari Pekanbaru. Banyak warga Pekanbaru yang memilih berwisata ke Payakumbuh yang terkenal dengan obyek Lembah Harau dan Jembatan Kelok Sembilan, setiap akhir pekan.
Faktor pendukung lain, Payakumbuh relatif aman dari ancaman gempa yang sering menyasar daerah pesisir barat Sumatera. Selama ini setiap kota Padang dihantam gempa, warga Payakumbuh hanya merasa sedikit bergoyang saja, tanpa sampai merubuhkan bangunan atau menelan korban jiwa.
Jadi, secara analisis singkat, Payakumbuh layak jadi ibukota Sumbar. Namun, sebagaimana pendapat Gubernur Irwan Prayitno, perlu ada pengkajian yang lebih dalam, serta satu hal yang masih terasa gelap yakni bagaimana mencari sumber dana untuk pemindahan ibukota. Padahal banyak proyek pembangunan yang lebih mendesak.
Itu juga barangkali yang dihadapi kota-kota provinsi lain yang sama rawannya dengan Padang, seperti telah disinggung di awal tulisan ini, antara lain kota Banda Aceh, Bengkulu dan Palu, yakni terkendala soal penyediaan anggaran. Bahkan juga menjadi masalah Jakarta sebagai ibukota negara.
Memindahkan ibukota memang tidak mudah dan tidak murah. Makanya ide Presiden Sukarno menjadikan Palangka Raya yang berada di pulau yang relatif aman dari gempa, Kalimantan, sebagai ibukota Republik Indonesia, sampai sekarang tetap saja sekadar wacana.