Dengan terengah-engah, akhirnya buku SBY: Selalu Ada Pilihan setebal 800 halaman tuntas juga saya baca. Buku tersebut sebetulnya telah terbit sejak akhir tahun lalu, namun entah kenapa setiap ke Gramedia saya gak tertarik untuk membelinya. Saya lebih tertarik membeli biografi tokoh lain atau buku tentang motivasi yang akhir-akhir ini marak, sejenis buku "jalan pintas jadi orang kaya". Baru saat bulan April lalu, saya membelinya, hanya agar berlaku "adil" mengingat buku tentang beberapa presiden sebelum SBY telah saya koleksi. Karena saya hanya meluangkan waktu membaca buku beberapa jam saja di sabtu-minggu, maka perlu 3 minggu untuk menamatkannya.
Benar saja, meski terkesan berisikan masukan kepada siapapun yang berniat menjadi capres tentang suka duka menjadi Presiden, tak pelak lagi, buku tersebut menjadi ajang curhat SBY sekaligus menjawab berbagai tudingan yang marak di media massa tentang kelemahan SBY selama ini. SBY memaparkan bahwa ia tidak lemah seperti yang dituduhkan (dalam konteks rebutan daerah Ambalat dengan Malaysia) atau ia juga tidak ragu-ragu (dalam konteks reshufle kabinet). Yang pasti, beliau mengaku seorang yang rasional dan sangat patuh pada hak dan wewenang yang dimiliki sebagai Presiden, mengingat banyak masyarakat yang tidak mengerti kewenangan Presiden sebahagian besar telah dilucuti DPR. Presiden bukan lagi berkuasa mutlak seperti di era Orba.
Tentu saja seabreg prestasi yang beliau raih juga ditulis lengkap, seperti berbagai penghargaan internasional, anugerah gelar doktor dari universitas luar negeri, stabilnya perekonomian serta terhindarnya Indonesia dari krisis ekonomi yang melanda negara maju di tahun 2008, juga perdamaian Aceh, adalah capaian yang menurut beliau sangat berkesan. Ya, kita tentu setuju saja.
Ahli sejarah bilang, sejarah tergantung siapa yang menulis. Kalau baca buku BJ Habibie akan tergambar pula sederet panjang prestasinya untuk bangsa Indonesia. Tapi menurut Jusuf Wanandi dalam bukunya "Menyibak Tabir Orde Baru", Habibie punya dosa yang lumayan. Sekadar diketahui, Jusuf Wanandi adalah pendiri CSIS think tank yang dipakai Soeharto, sebelum Soharto menyingkirkannya dan beralih ke CIDES, think tank yang didirikan Habibie. Makanya saya tidak heran kalau SBY menulis, karena Jusuf Kalla pengen maju jadi Presiden di 2009, makanya beliau menggandeng Budiono sebagai wapres. Padahal JK dalam bukunya bilang karena tidak ada indikasi SBY mau memakainya lagi, maka JK maju menantang SBY.
Para capres dan tim sukses yang bakal berlaga Juli nanti boleh jugalah baca buku SBY.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H