JELANG lebaran bermunculan tempat-tempat penukaran uang di pinggir jalan. Uang baru pecahan Rp 5.000, Rp 10.000, dan ada juga Rp 2.000 yang masih baru siap untuk ditukarkan.
Sudah menjadi tradisi, saat Lebaran Idulfitri ada acara membagi-bagi uang kepada keluarga dan kaum kerabat. Uang yang dibagikan umumnya dari pecahan yang tidak terlalu besar. Namun, pecahan seperti ini, karena sering menjadi alat transaksi, menyebabkan tidak mulus lagi.Â
Bahkan banyak yang sudah kucel atau disambung di sana-sini. Bentuk seperti ini jadi kurang sreg kalau dijadikan sebagai hadiah atau pemberian. Perlu uang baru yang masih harum dan mulus.
Bank Indonesia sebenarnya selalu membuka loket untuk penukaran uang yang kumal, rusak maupun kadaluarsa. Namun, jelang lebaran seperti ini tentu saja kewalahan menghadapi permintaan yang cukup besar. Itulah yang kemudian menyebabkan munculnya penukar uang di pinggir-pinggir jalan.
Peran para penukar uang ini memang cukup besar bagi masyarakat yang membutuhkan. Mereka bisa kapan saja ditemui, tanpa batas jam dan hari kerja. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut mereka pun menetapkan jasa yang variatif. Ada yang dengan prosentase, ada juga dengan tarif tertentu.
Sampai di sini tak ada persoalan. Prinsip suka sama suka membuat transaksi ini boleh dikatakan lancar-lancar saja. Kendati begitu, bagi umat Islam yang merayakan Idulfitri, sebaiknya harus lebih hati-hati.Â
Betapa tidak, sebagian ulama berpendapat unsur riba jelas ada di transaksi penukaran uang ini.
Seperti disebutkan dalam hadits dari  Ahmad, dan Muslim: "Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya'ir (gandum kasar) ditukar dengan sya'ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai.Â
Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa."
Memang, sebagian ulama masih membolehkan. Dengan syarat tarif yang harus dibayarkan saat menukar uang di pinggir jalan diniatkan untuk membayar jasa, bukan menggandakan uangnya.