Mohon tunggu...
Irwan AR
Irwan AR Mohon Tunggu... lainnya -

Orang yang senang merapal imajinasi dalam kesendirian

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kota yang Berpuisi

28 Juni 2014   17:52 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:25 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua buah billboard dipusat keramaian kota dipajang penggalan puisi Chairil Anwar, billboard yang biasanya terpajang iklan produk mobil itu berubah jadi puitis. Pemasangan ini dalam rangka Makassar International Writers Festival 2014 yang sudah berlalu tapi masih terasa keriuhannya membekas bagi mereka yang terlibat –juga penonton- dalam empat hari itu.

Puisi Chairil Anwar yang dikutip, yakni “Di pintu-Mu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling” yang dipasang di Jalan Jenderal Sudirman, dan “Aku mau hidup seribu tahun lagi” dipasang di Jalan Penghibur. Menurut, Lily Yulianti Farid, selaku direktur festival MIWF, kutipan puisi itu memberi warna bagi kota Makassar, untuk pertama kalinya kata beliau sebuah kota mengakomodir puisi dalam papan reklame yang diperuntukan bagi iklan-iklan produk itu.

Bila direnungkan, maksud penyajian puisi di papan billboard itu suatu upaya lebih ‘memasyarakatkan’ sastra khususnya puisi kepada masyarakat. Menarik karena yang dituju adalah warga kota, suatu komunal yang riuh, yang hilir mudik begitu sibuk untuk urusan hajat hidup. Boleh juga, ini menarik sebagai semacam suplai nalar bagi warga kota yang sedang terjebak dikemacetan jalan raya. Atau juga orang-orang yang sedang keluyuran di jalan untuk melpas resah mereka lalu bertemu bait puisi “Di pintu-Mu aku mengetuk, aku tidak bisa berpaling” lalu bisa jadi mereka mengalami ‘kesadaran’ religious dan meneduhkan hatinya dan kembali ke rumah dengan hati yang lapang. Duh!

Saya juga membayangkan, mereka yang sedang berada diambang putus asa, kemudian melintas di jalan penghibur dan beruntung sempat menengok billboard yang memuat puisi terkenal Chairil Anwar “ aku mau hidup seribu tahun lagi” setelah itu orang tersebut diberi ilham untuk insaf bahwa hidup harus dinikmati sebagai nikmat Tuhan yang paling berharga, ah, betapa sebuah puisi telah menjadi ‘mantra’ bagi harapan yang pupus itu.

Tetapi saya juga membayangkan bagaimana kalau puisi yang dipasang dibilboard itu ‘sepi’ dari pengamatan? walaupun begitu gencar dipromosikan oleh pihak penyelenggara MIWF di media-media dan (bahkan) menjadi salah satu sesi tantangan kuis dengan foto selfi berlatar belakang billboard tersebut yang ramai disampaikan di twitter itu.

Lalu seberapa lama si empunya billboard mau meminjamkan wadah promo produknya itu untuk ditempatai puisi pujangga angkatan 45 itu? Dari informasi saya dapatkan, puisi-puisi itu hanya bertahan dua minggu, yang mungkin tidak bakalan cukup bagi waktu untuk sejuta lebih penghuni kota Makassar menyadari atau menikmati puisi tersebut.

Apalagi puisi semacam itu hanya terpasang di dua billboard raksasa, yang untungnya berukuran besar dan berada di pusat kota lagi, tetapi rasanya akan kurang menutupi area kota yang luas ini. Betapa, puisi Chairil ini mesti melewati ketabahan untuk bisa disadari oleh seluruh warga kota. Juga begitupun sesungguhnya adalah kenaifan saya sendiri, bukankah direktur MIWF sendiri mengaku, ini adalah upaya memulai sebuah tradisi baru.

Sikap naïf itu pula yang menggerogoti saya saat mencoba “mengepung” kota ini dengan puisi, bahkan lebih dari itu, saya sudah merencakan kudeta puitik. Kenaifan itu ketika saya berdiskusi soal gagasan ini yang akan saya masukan sebagai bagian dari Journal Of Moment Arts (Joma 2013) pertengahan November 2013 silam. Teman diskusi saya itu adalah Shinta Febriany –salah satu kurator MIWF 2014- dan kami membincangkan bagaimana narasi dalam puisi bisa diperbandingkan dengan narasi politik dan kapitalisme dalam produk-produk komersil yang kala itu lagi memenuhi kota dalam momentum mendekati pemilihan walikota.

Shinta Febriany membayangkan dan berharap baliho-baliho politisi yang memenuhi kota itu akan ditutupi oleh puisi-puisi, kami kadang nyinyir pada teks-teks para politisi yang kadang sudah merusak bahasa Indonesia juga mengandung makna yang merusak akal sehat. Tetapi sayangnya, hal itu nyaris mustahil sebab akan mengundang masalah pada ketersinggungan si empunya baliho. Hal yang sama kendalanya pada billboard atau papan reklame produk-produk di pinggir-pinggir jalan itu. Kita tahu, bahwa untuk memasang iklan itu, harganya lumayan mahal, betapa riskan untuk menyerahkan ruang promo yang bernilai puluhan juta itu untuk dipasangi kutipan puisi.

Saya kemudian mengubah strategi, bahwa waktu yang pendek bisa ditaktisi dengan melakukannya secara massif dan serempak di beberapa titik kota, lalu dengan melibatkan 25 pekerja seni kampus yang bersedia terlibat dalam puisi mengepung kota itu, kami mengisi empat titik di pinggiran kota yang secara simbolis seolah mengepung kota. Titik ke lima kami tempatkan di bawah fly over sebagai titik temu dari empat titik di perbatasan-perbatasan kota tersebut. Mereka membawa umbul-umbul berukuran sedang berjumlah 25 buah, yang berisi kutipan puisi-puisi penyair Makassar juga membaca puisi secara bergantian dan bersamaan di pasar, pelabuhan dan terminal.

Saya sendiri tidak puas dengan apa yang dilakukan di JOMA itu, karena belum bisa menimbulkan “dentuman besar” apalagi sampai mengkudeta kota dengan puisi, saya mesti mengakui itu adalah kudeta gagal bagi puisi. Kenaifan yang mesti saya luruhkan untuk beralibi sebagai permulaan bagi tradisi baru.

Tapi soal ketabahan akan kenaifan untuk memasyarakatkan puisi tak ada yang mengalahkan tabahnya puisi-puisi korea yang dipajang di stasiun-stasiun kereta bawah tanah terutama di kota Seoul. Di stasiun kereta Negara korea yang kapitalis itu, pemerintah memajang puisi-puisi korea, entah sebagai pemanis atau ‘hiburan’ bagi orang-orang yang menunggu kereta datang, puisi-puisi itu tetap disitu, barangkali hadir untuk diabaikan oleh orang-orang yang terburu-buru berangkat ke tujuannya atau bahkan lebih sibuk dengan gadgetnya masing-masing.

Hingga satu dua orang kemudian menyadari keberdaaanya lalu membacannya atau sekedar melirik sepintas atau bahkan berupaya merenungi maknanya, yang pasti puisi yang dipajang itu tetap disitu. Mungkin menenggu jodoh orang yang mau mengindahkan akan keberadaanya.

Sementara di Kota Makassar, yang semakin menggeliat dengan kegiatan literasi ini, tidak cukup naïf kah kalau kita bermimpi, kelak puisi adalah tradisi yang tak lepas dari aktivitas masyarakatnya? Kelak kota ini menjadi kota yang berpuisi?

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun