Industri perbankan merupakan salah satu komponen penting dalam perekonomian nasional demi menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Stabilitas industri perbankan secara keseluruhan akan sangat mempengaruhi perekonomian nasional. Kepercayaan terhadap lembaga perbankan merupakan hal terpenting dalam menjaga stabilitas sistem keuangan nasional. Kepercayaan masyarakat berawal dari kinerja perbankan yang didukung oleh kepastian hukum dalam pengaturan dan pengawasan bank. Sehingga prediksi kinerja perbankan ke depan perlu dilakukan untuk menyiapkan langkah antisipatif dalam menjaga operasional bank tetap berjalan (Ali, 2006)
Membangun ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peranan beberapa pihak antara lain Pemerintah, bank dan lembaga-lembaga di sektor keuangan serta para pelaku usaha. Salah satu pelaku usaha yang memiliki peran strategis dalam membangun ekonomi Indonesia adalah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Lembaga keuangan yang tepat dan strategis untuk melayani jasa perbankan bagi masyarakat tersebut adalah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) baik yang beroperasi secara konvensional maupun secara syariah.
Sebagai institusi yang penting peranannya dalam masyarakat, bank telah menjadi alat mediator keuangan yang cukup efektif bagi pemerintah dan masyarakat dalam hal lalu lintas peredaran uang serta pemberian kredit. Oleh karena itu bank harus memiliki kinerja yang baik yang dicapai dari aktivitas usahanya. Jika suatu bank tidak lagi mendapatkan trust dari masyarakat akan menyebabkan usaha bank tidak dapat dilanjutkan, dan bank akan masuk katagori bank gagal yang berakibat dicabut izin usahanya. Oleh sebab itu, prediksi kebankrutan bank adalah suatu keniscayaan untuk menjaga trust masyarakat terhadap lembaga keuangan tetap berlanjut, sehingga stabilitas sistem keuangan tetap baik (Ali, 2006)
Kinerja suatu perusahaan dapat dinilai dengan menggunakan laporan keuangan. Laporan keuangan bank yang terdiri dari neraca memberikan informasi mengenai posisi keuangan, laporan laba rugi untuk menilai perkembangan operasional bank, laporan arus kas yang memberikan informasi perputaran uang.Â
Kesulitan keuangan suatu perusahaan dapat tercermin dari indikator kinerja yakni apabila perusahaan mengalami kesulitan keuangan jangka pendek (likuiditas) yang tidak segera diatasi akan mengakibatkan kesulitan keuangan jangka panjang (solvabilitas)  sehingga  dapat  berujung  pada  kebangkrutan suatu perusahaan (Suharman, 2007). Menurut Darsono dan Ashari (2005) kesulitan keuangan dapat diartikan sebagai ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajiban keuangannya pada saat jatuh tempo yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan. Kebangkrutan perusahaan dapat dideteksi lebih awal dengan adanya early warning system.
Sebuah model early warning system yang mengantisipasi kebangkrutan perbankan merupakan sebuah alat yang mempunyai kekuatan untuk membantu manajemen dalam mengidentifikasi dan diharapkan mengatasi masalah sebelum mencapai krisis. Rasio keuangan diharapkan memberikan indikator keuangan untuk mencegah permasalahan dalam industri perbankan. Hadad menyatakan faktor modal dan risiko keuangan ditengarai mempunyai peran penting dalam menjelaskan fenomena kebangkrutan bank.
Fenomena kebangkrutan bank di Indonesia terlihat sejak adanya deregulasi perbankan tahun 1983, dimana kompetisi antar bank baik bank pemerintah, swasta, joint venture maupun asing semakin tinggi. Bank – bank yang memiliki modal kecil dan tidak memiliki market mengalami kesulitan keuangan yang pada akhirnya dilikuidasi, dibekukan, atau di take over oleh pemerintah. Dengan adanya likuidasi, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap perbankan mengalami penurunan dan masyarakat lebih memilih menginvestasikan dananya ke luar negeri sehingga dapat mengakibatkan bank mengalami kekurangan dana. Oleh karena itu, diperlukan sebuah early warning system yang dapat memberikan informasi mengenai permasalahan yang terjadi pada industri perbankan (Suharman, 2007). Dengan  adanya deteksi lebih awal kondisi perbankan, maka kesulitan keuangan dapat diantisipasi sebelum mencapai krisis.
Untuk menilai kinerja sebuah bank dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan menggunakan rasio keuangan. Ratio keuangan adalah angka yang diperoleh dari hasil perbandingan dari satu pos laporan keuangan dengan pos lainnya yang mempunyai hubungan yang relevan dan signifikan (berarti). Analisa ratio keuangan ini hanya menyederhanakan informasi yang menggambarkan hubungan antara pos tertentu dengan pos lainnya. Dengan penyederhanaan ini kita dapat menilai secara cepat hubungan anatara pos tadi dan dapat membandingkannya dengan rasio lain sehingga kita dapat memperoleh informasi dan memberikan penilaian. Â
Rasio-rasio keuangan dapat diketahui kinerja bank tersebut apakah meningkat, tetap atau mengalami penurunan baik dibandingkan antara bank tersebut dengan bank lain atau membandingkan kinerja bank tersebut dari tahun ke tahun. Salah satu tujuan dari analisa rasio adalah dapat menunjukkan profil suatu perusahaan, karakteristik ekonomi, strategi bersaing dan keunikan karakteristik operasi, keuangan dan investasi. Terjadinya likuidasi pada sejumlah bank telah menimbulkan beberapa permasalahan  yang  berkaitan  dengan  stakeholder  dan shareholder.  Kondisi  ini tentu  saja membuat  para  investor  dan  kreditur  merasa  khawatir  jika perusahaannya  mengalami  kesulitan  keuangan  yang  bisa  mengarah  ke kebangkrutan. Tingkat kekhawatiran investor ini makin bertambah dengan munculnya  Peraturan  Pemerintah  Pengganti  Undang-Undang  (Perpu)  Nomor  1 Tahun  1998  yang  mengatur  kepailitan.  Menurut  Perpu  tersebut  debitur  yang terkena default  (gagal bayar)  dapat dinyatakan  bangkrut  oleh dua debitur  saja. Hal ini sebenarnya tidak akan  menimbulkan masalah yang lebih besar jika proses likuidasi  pada  sebuah  lembaga  perbankan  dapat  diprediksi  lebih  dini  sehingga dapat  dihindari  terjadinya  masalah  yang  berkaitan  dengan  nasabah,  pemilik maupun karyawan yang harus kehilangan pekerjaannya.
Untuk mengatasi situasi ini dan menanamkan rasa aman di kalangan deposan dalam sistem perbankan dan memastikan sistem perbankan stabil, maka pemerintah kemudian mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada tanggal 22 September 2004, yakni berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 tentang LPS. Â LPS didirikan sebagai lembaga independen yang berfungsi untuk menjamin dana deposan dan berpartisipasi dalam menjaga stabilitas sistem perbankan. LPS beroperasi mulai 22 september 2005. LPS menjamin dana deposan bukan hanya di Bank Umum saja tapi juga pada bank mikro atau Bank Perkreditan Rakyat.
Selain itu Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai badan yang dibentuk untuk mengawasi perbankan di Indonesia (penganti Bank Indonesia/ BI) senantiasa mengawasi perbankan dengan selalu memeriksa kesehatan sebuah bank minimal sekali dalam setahun dengan alat ukur yang dikenal dengan CAMEL (Capital, Aset, Manajemen, Earning dan Likuiditas). Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan OJK terjadi penurunan tingkat kesehatan sebuah bank maka segera dapat diambil berbagai kebijakan sehingga diharapkan bank-bank tersebut tidak mengalami penurunan kesehatan yang lebih lanjut dan terhindar dari likuidasi. Tapi kenyataan yang ada tidak berjalan mulus karena tetap ada bank yang akhirnya dilikuidasi.
Perbankan mikro atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) juga tidak terlepas dari berbagai masalah yang menyebabkan banyak BPR terpaksa dilikuidasi oleh Bank Indonesia setiap tahunnya. Dari tahun 2006 sampai tahun 2014 terdapat 63 BPR/BPRS yang dilikuidasi oleh Bank Indonesia (BI)/ Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dimana 61 diantaranya BPR (96,67 %) dan hanya 2 (dua) BPRS yang dilikuidasi oleh Bank Indonesia (3,33 %).
Tabel 1.1. Daftar BPR/BPRS yang dilikuidasi (tutup) Bank Indonesia 2006-2014
JenisÂ
Jumlah
1
Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
58 (Lima puluh delapan)
2
Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS)
2 (Dua)
Jumlah BPR/BPRS yang ditutup
60 (Enam puluh)
Summer: Lembargo Penjamin Simpanan (LPS) / data diolah
Sejak tahun 2015 sampai akhir April 2016 terdapat 8 BPRS yang dilikuidasi oleh OJK dimana dua diantaranya (25 %) adalah BPRS. Tahun 2015 terdapat 3 BPR/BPRS yang dilikuidasi dimana satu diantaranya (33 %) adalah BPRS yakni BPRS Hidayah Jakarta yang berada di Jakarta Barat. Sedangkan tahun 2016 ini sampai akhir April 2016 sudah terdapat 5 BPR/BPRS yang di likuidasi oleh OJK dimana 1 (satu) diantaranya (20%) adalah BPRS yakni PT. BPRS Al Hidayah yang berlokasi di Pasuruan Jawa Timur seperti terlihat dalam tabel 2.
Tabel 1.2. Daftar BPR yang dilikuidasi (tutup) Bank Indonesia tahun 2015 - 2016
Nama Bank di Likuidasi
Saat Likuidasi
Kota / Propinsi
Dilikuidasi tahun 2016
1
PT BPR Kuda Mas
29 April 2016
Sidoarjo, Jawa Timur
2
PT. BPRS Al Hidayah
25 April 2016
Pasuruan, Jawa Timur
3
PT BPR Dana Niaga Mandiri
13 April 2016
Makassar, Sulsel
4
PT BPR Mitra Bunda Mandiri
22 Jan 2016
Pessel, Sumatera Barat
5
PT BPR Agra Arthaka Mulya
14 Jan 2016
Gunung Kidul, Yokyakarta
Dilikuidasi tahun 2015
1
PT BPR Cita Makmur Lestari
18 Dec 2015
Banten
2
PT BPR Carano Nagari
10 Juli 2015
Tanah Datar, Sumbar
3
PT BPRS Hidayah Jakarta
19 Juni 2015
Cengkareng, Jakarta
  Sumber : Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) / data diolah
Dari data diatas dapat dilihat bahwa dalam 2 tahun terakhir perkembangan BPRS cukup mengkhawatirkan, ini bisa dilihat dari data tersebut setiap tahun terdapat BPRS yang ditutup. Tidak tertutup kemungkinan saat ini terdapat beberapa BPRS yang kondisinya mengkhawatirkan dan berada dalam pengawasan Khusus OJK. BPRS-BPRS ini tidak tertutup kemungkinan untuk dilkuidasi atau dicabut izin usahanya jika dalam waktu yang ditentukan tidak mampu menyehatkan dirinya. Pencabutan izin usaha (likuidasi) BPRS yang terjadi saat ini sangat merisaukan kalangan perbankan syariah. Perbankan Syariah termasuk BPRS yang tadinya dianggap aman dan kecil kemungkinan ditutup ternyata mulai mengalami hal yang sama seperti BPR.
Untuk itu diperlukan sebuah model early warning system yang mengantisipasi kebangkrutan perbankan merupakan sebuah alat yang mempunyai kekuatan untuk membantu manajemen dalam mengidentifikasi dan diharapkan mengatasi masalah sebelum mencapai krisis. Dengan adanya deteksi lebih awal kondisi perbankan, maka kesulitan keuangan sebuah BPR dapat diantisipasi sebelum mencapai krisis yang berakibat pada kebankrutan BPR tersebut. Tidak hanya itu, perbankan mikro syariah secara internal harus memiliki sistem yang kuat yang memadukan antara prinsip syariah dan prinsip profesionalisme perbankan, sehingga perbankan syariah di Indonesia tidak hanya banyak secara kuantitas, tetapi baik secara kualitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI