Mohon tunggu...
Irvan Kurniawan
Irvan Kurniawan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis untuk perubahan

Pemabuk Kata

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Gibran, Romantisme Jokowi Effect yang Direka Ulang?

1 Agustus 2020   21:25 Diperbarui: 2 Agustus 2020   07:42 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bakal Calon Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka tiba di Kantor DPP PDI-P, Menteng, Jakarta, Senin (10/2/2020). Gibran datang untuk menjalani fit and proper test atau uji kelayakan dan kepatutan sebelum maju menjadi calon Wali kota pada Pilkada Solo 2020 (ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA via KOMPAS.com)

Pragmatisme politik! Ya, itulah kesan pertama yang ada di benak publik melihat polemik pencalonan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka di Pilkada Solo tahun 2020 mendatang. Bagaimana tidak, pencalonan Gibran sejak awal terkesan dipaksakan mengingat ucapan sang Ayah yang mengaku anak-anaknya itu tidak tertarik masuk dunia politik.

"Sampai detik ini, saya melihat anak-anak saya tidak tertarik ke dunia politik. Gibran, Kaesang, maupun yang lain senangnya di dunia usaha," kata Jokowi pada 18 Juli 2019 lalu seperti dilansir Kompas.com.

Kurang lebih setahun setelah ucapan itu, Jokowi seperti terjerat oleh kata-katanya sendiri. Gibran, putra sulungnya, resmi mendapat dukungan dari PDIP untuk maju dalam Pilkada Solo. 

Bagi parpol, mencalonkan anak presiden dalam Pilkada adalah perkara gampang dan mungkin akan menghemat energi dan biaya. Cukup dengan menjual nama sang Ayah, dukungan akan mengalir ke Gibran, PDIP pun menang lagi.

Pun, jika ditanya apakah Gibran akan menang atau kalah? Hampir pasti kebanyakan orang akan optimis menang. Selain karena memang Solo basis PDIP, Jokowi Effect sudah terbukti mendongkrak perolehan suara parpol maupun perorangan dalam Pilkada serentak 2019 lalu. 

Namun persoalannya bukan terletak pada menang atau kalah. Kans Gibran untuk menang dalam Pilkada Solo tentu sangat besar jika dibaca secara pragmatis. Persoalannya adalah partai politik hanya memikirkan kemenangan 5 tahunan dibandingkan dengan investasi keteladanan dan etika politik yang makin suram di negeri ini. 

Publik sebenarnya masih galau dengan hasil pemilu 2019 lalu, dimana sekitar 17,22 persen anggota DPR RI 2019-2024 merupakan bagian dari dinasti, karena memiliki hubungan dengan pejabat publik, baik hubungan darah, pernikahan, maupun kombinasi keduanya.

Riset yang ditemukan Nagara Institute ini harusnya menjadi wanti-wanti demokrasi, sebab berpeluang menguatkan pengaruh oligarki dalam sistem demokrasi kita.

Pencalonan Gibran yang merupakan putra mahkota presiden malah akan menguatkan tren dinasti politik dalam ruang demokrasi. Inilah yang patut disayangkan. Jokowi maupun Gibran seharusnya memberikan keteladanan politik yang elok sehingga tren dinasti politik ini tidak menguat dan mengakar di Indonesia.

Pada saat yang sama, pencalonan Gibran sebenarnya bukti pelecehan parpol yang mengemban fungsi kaderisasi dan rekrutmen politik. Kita tahu bahwa PDIP merupakan partai kader sebagaimana diamanatkan dalam anggaran dasar partai.

PDIP adalah "Wadah untuk membentuk kader bangsa yang berjiwa pelopor, dan memiliki pemahaman, kemampuan menjabarkan dan melaksanakan ajaran Bung Karno dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara," demikian ditegaskan dalam anggaran dasar partai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun