Mohon tunggu...
Irsyad Sibro Malisi PAI 21 144
Irsyad Sibro Malisi PAI 21 144 Mohon Tunggu... Mahasiswa

Mahasiswa Universitas Hasyim Asy'ari

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pengaruh Peradaban Ilmuan Islam Timur Tengah Terhadap Perkembangan Pendidikan islam

13 Desember 2024   23:42 Diperbarui: 13 Desember 2024   23:18 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 

Kajian Azyumardi Azra mengenai jaringan ulama di Nusantara dan Timur Tengah menjadi referensi utama dalam membahas transformasi intelektual ulama Nusantara. Penelitian ini mengisi kekosongan dalam kajian penyebaran dan transformasi gagasan pembaruan Islam, khususnya menjelang dominasi kekuasaan Eropa pada abad ke-17 dan ke-18. Melalui karya ini, Azra memberikan pemahaman baru tentang sejarah Islam di Nusantara.

Azra menolak pandangan Clifford Geertz dalam The Religion of Java yang menyatakan bahwa tradisi Islam di Nusantara tidak memiliki koneksi signifikan dengan Timur Tengah. Sebaliknya, ia menegaskan bahwa sejak awal perkembangan Islam, hubungan erat telah terjalin antara komunitas Muslim Melayu-Indonesia dan Timur Tengah. Sejak abad ke-17, hubungan ini didominasi oleh aspek keagamaan dan keilmuan, meskipun juga mencakup interaksi politik, seperti antara kerajaan Islam di Nusantara dan Kesultanan Utsmaniyah.

Penelitian Azra mengeksplorasi pembentukan jaringan keilmuan antara ulama Timur Tengah dan murid-murid dari Melayu-Indonesia. Ia menyoroti wacana intelektual yang berkembang, peran ulama Melayu-Indonesia dalam jaringan ini, serta dampaknya terhadap komunitas Muslim secara luas. Pendekatan ini menjadikan penelitiannya bagian dari sejarah sosial-intelektual Islam yang juga dapat dimaknai sebagai sejarah global, karena sejarah di suatu wilayah kerap dipengaruhi oleh interaksi lintas batas.

Jaringan ulama Nusantara-Timur Tengah berfungsi sebagai pusat tradisi intelektual yang signifikan. Jaringan ini menjadi sumber pengetahuan yang memungkinkan ulama mentransformasi Islam selama masa kolonial sekaligus memperkuat otoritas keagamaan dalam masyarakat Muslim. Tradisi intelektual tersebut tidak diterima secara utuh, melainkan melalui proses rekonstruksi, reformasi, dan adaptasi sesuai dengan konteks lokal yang kompleks.

Namun, beberapa kritik menilai kajian Azra lebih menyerupai sejarah pemikiran konvensional yang menitikberatkan pada individu dari Timur Tengah. Kritik ini mengungkap bahwa Azra kurang mengeksplorasi bentuk-bentuk ekspresi Islam yang berkembang secara unik di Nusantara. Fokus utamanya adalah pada tokoh-tokoh seperti Nur al-Din al-Raniri, Abd al-Rauf al-Sinkili, al-Palimbani, dan Dawud Patani, yang terpengaruh oleh ide pembaruan Islam dari Makkah dan Madinah.

Selain itu, beberapa ulama Nusantara yang menuntut ilmu di Makkah melanjutkan studi mereka ke Al-Azhar di Kairo. Tokoh-tokoh seperti Muhammad Arsyad al-Banjari, Sayyid Abd al-Shamad al-Palimbangi, Abd al-Rahman al-Batawi, dan Abd al-Wahab al-Bugisi menjadi bagian dari komunitas pelajar Nusantara di Al-Azhar. Salah satu tokoh yang produktif dalam menghasilkan karya adalah Muhammad Idris Abd al-Rauf al-Marbawi.

Mona Abaza menjelaskan hubungan intelektual antara Indonesia dan Al-Azhar melalui konsep pengembaraan untuk menuntut ilmu. Tradisi ini menjadi bagian penting dari budaya keilmuan Islam, dimulai sejak pengumpulan hadis sahih dengan berpindah dari satu ulama ke ulama lain di berbagai wilayah. Tradisi ini mencerminkan etos keilmuan Islam, di mana santri dari Jawa kerap melakukan perjalanan jauh ke pusat-pusat ilmu seperti Makkah atau Al-Azhar.

Dibandingkan Makkah yang lebih konservatif, Kairo menjadi pusat pengembangan pemikiran Islam reformis yang menarik perhatian banyak santri dari Nusantara. Hal ini mendorong munculnya gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Mona Abaza juga memetakan karakter generasi alumni Al-Azhar melalui sosiologi pengetahuan, menunjukkan bahwa pada periode tertentu, Al-Azhar menghasilkan lulusan konservatif, sementara pada periode lainnya menghasilkan alumni progresif yang kemudian memengaruhi kehidupan masyarakat di Nusantara. Namun, seiring waktu, orientasi pendidikan Islam di Indonesia mulai lebih condong ke Barat dibandingkan ke Al-Azhar.

Keilmuan yang diperoleh ulama Nusantara dari Timur Tengah diadaptasi dengan kearifan lokal melalui proses akulturasi. Salah satu upaya penting adalah menggunakan bahasa lokal, menghasilkan karya-karya dalam bahasa Jawa dan tulisan Pegon. Pendekatan ini mempermudah penyebaran ajaran Islam dengan cara yang lebih dipahami oleh masyarakat setempat

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun