Mohon tunggu...
Irsad Ahmad Ananda
Irsad Ahmad Ananda Mohon Tunggu... UIN SUNAN KALIJAGA

24107030044- Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga jurusan ilmu komunikasi yang sedang mencari jati diri lewat tulisan artikel. "kalau buku adalah jendela dunia, berarti jika ingin dikenal dunia maka jadilah penulis."

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Dikasih Gaji UMR Tapi UMR Kampung Halaman Lebih Gede: Terus Gimana Mau Transfer Ke Orang Tua?

13 Juni 2025   22:53 Diperbarui: 13 Juni 2025   22:53 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi gaji (Photo by Photo By: Kaboompics.com: https://www.pexels.com/photo/person-counting-cash-money-4475524/ )

Coba bayangin deh. Kamu, seorang sarjana baru dari daerah, dapet email sakti bertuliskan "Selamat, Anda Diterima Bekerja di Jakarta!" Perasaanmu? Wah, campur aduk. Bangga bisa naklukin ibu kota, seneng karena gajinya UMR, yang angkanya keliatan gede banget dibanding UMR di kampung halaman. Kamu pun berangkat dengan koper penuh mimpi. Tapi sebulan kemudian, saat cek saldo ATM setelah bayar kosan sempit di gang senggol, bayar ongkos ojek online yang bikin nangis, dan bayar makan di warteg yang harganya "khas Jakarta", kamu tiba-tiba sadar: sisa uang di tangan kok rasanya lebih sedikit daripada sisa uang jajan zaman kuliah, ya?

Nah, cerita kayak di atas itu ternyata bukan cuma drama sinetron, tapi udah jadi realita buat banyak banget anak muda di luar sana. Mulai muncul sebuah tren baru yang senyap tapi pasti: banyak karyawan yang tadinya merantau ke kota besar, sekarang justru milih resign dan balik ke kampung halaman. Kenapa? Karena mereka mulai pinter ngitung. Mereka sadar kalau UMR tinggi di kota besar itu seringkali cuma ilusi kalau biaya hidupnya juga "tinggi langit". Artikel ini bakal ngebongkar habis-habisan fenomena ini. Kenapa gaji gede di Jakarta bisa kalah menarik sama gaji di daerah, dan apa aja sih yang sebenernya dicari sama generasi pekerja zaman sekarang?

Kesalahan pertama yang sering dilakukan banyak orang adalah membandingkan angka UMR secara langsung. Liat UMR Jakarta Rp 5 jutaan, terus liat UMR Jogja Rp 2 jutaan, otomatis mikir, "Wah, hidup di Jakarta jauh lebih enak, dong!" Padahal, cara mikir ini salah kaprah. Kita harus inget, UMR itu ditetapkan pemerintah berdasarkan biaya Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di daerah itu sendiri. Jadi, UMR Jakarta tinggi ya karena biaya hidup di sana memang setinggi itu untuk bisa "sekadar" hidup layak. Ini ibarat ngasih bekal air lebih banyak buat orang yang mau nyebrang gurun pasir dibanding yang cuma jalan-jalan di taman. Kebutuhannya ya memang beda!

Sekarang, ayo kita main coret-coretan kasar. Anggap ada dua orang, si Budi kerja di Jakarta dan si Anto kerja di kampung halamannya di Solo. Gaji mereka sama-sama pas UMR. Mari kita bedah pengeluaran bulanan mereka. Si Budi di Jakarta, dengan gaji Rp 5,1 juta, pengeluarannya kira-kira begini: kosan standar di pinggiran Rp 1,5 juta, transportasi umum (desak-desakan di KRL dan sambung ojek) Rp 1 juta, dan makan super hemat Rp 1,8 juta. Total pengeluaran Rp 4,3 juta. Sisanya buat ditabung? Cuma Rp 800 ribu, itu pun dengan kondisi hidup yang serba pas-pasan. Nah, si Anto di Solo, gajinya Rp 2,2 juta. Pengeluarannya: kosan yang lebih nyaman Rp 700 ribu, bensin motor sebulan Rp 250 ribu, dan makan enak Rp 900 ribu. Total pengeluaran Rp 1,85 juta. Sisa gajinya? Rp 350 ribu. Keliatannya sisa tabungan Budi lebih besar, tapi coba lihat lagi: dengan perjuangan hidup yang lebih berat, Budi cuma bisa nabung beda tipis. Sementara Anto, dengan hidup yang lebih santai dan nyaman, masih bisa nabung. Di sinilah letak "paradoks"-nya.

Jujur deh, selain mikirin isi dompet, siapa sih yang nggak pengen hidupnya lebih tenang dan nyaman? Nah, ini dia poin pentingnya. Tinggal di kota besar kayak Jakarta memang nawarin banyak kesempatan kerja dan mungkin gaji yang lebih tinggi di atas kertas. Tapi, coba pikirin lagi soal "ongkos" yang harus dibayar di luar uang. Misalnya, waktu. Berapa jam sehari kamu habiskan cuma buat bolak-balik kantor? Belum lagi stresnya kejebak macet, desak-desakan di transportasi umum, dan polusi udara yang bikin napas nggak lega. Bandingin sama temenmu yang kerja di kampung halaman, yang mungkin jarak rumah ke kantornya cuma selemparan batu atau bisa naik motor santai 15 menit sambil ngirup udara pagi. Waktu yang "kehilangan" di jalan itu bisa banget dipake buat hal lain yang lebih berkualitas, kan? Buat keluarga, buat hobi, atau sekadar buat tidur lebih lama biar nggak kayak zombie di kantor.

Selain soal waktu dan stres, faktor dukungan sosial juga nggak kalah krusial. Merantau jauh dari keluarga dan temen-temen deket itu nggak gampang, lho. Sekalinya ada masalah, mau curhat atau minta bantuan langsung, rasanya jauh banget. Beda sama di kampung halaman, di mana kamu punya support system yang udahSolid dari dulu. Kangen masakan ibu tinggal mampir, butuh bantuan darurat ada saudara yang siap siaga, atau sekadar pengen nongkrong sama temen-temen lama juga gampang. Hal-hal kayak gini emang nggak bisa diukur pake uang, tapi pengaruhnya gede banget ke kesehatan mental dan kebahagiaan kita secara keseluruhan. Jadi, buat banyak orang, "gaji lebih kecil tapi hati lebih tenang" itu jadi pilihan yang jauh lebih menarik daripada "gaji gede tapi tiap hari makan ati".

Kalau kamu kira fenomena "pulang kampung" ini cuma urusan pribadi para karyawan, kamu salah besar. Diam-diam, ini jadi PR besar buat para manajer HR di kota-kota metropolitan. Bayangin aja, mereka jadi pusing tujuh keliling karena angka turnover alias keluar-masuk karyawan di level pemula jadi tinggi banget. Setiap beberapa bulan harus buka lowongan baru, ngadain rekrutmen, terus ngajarin karyawan baru dari nol. Ini semua butuh biaya dan waktu yang nggak sedikit. Akibatnya, perusahaan jadi nggak bisa cuma nawarin gaji standar UMR lagi. Mereka kepaksa harus ngasih "gaji premium" atau tunjangan ekstra cuma buat nahan karyawan biar nggak kabur. Kalau nggak gitu, ya siap-siap aja kehilangan talenta.

Tapi, di setiap masalah, biasanya ada peluang, kan? Tren ini bisa jadi "tamparan" yang positif buat perusahaan biar lebih melek sama masa depan. Ini adalah momen yang pas banget buat serius mikirin model kerja yang lebih fleksibel, misalnya remote working atau sistem hybrid. Kalau kerjaan bisa diselesaikan dari mana aja, kenapa harus maksa karyawan buat tinggal di kota yang biaya hidupnya mahal? Selain itu, ini juga bisa jadi pemicu buat nyebarin "kue" ekonomi lebih merata. Daripada semua kantor numpuk di Jakarta, perusahaan bisa mulai buka kantor-kantor cabang atau satellite office di kota-kota lapis kedua yang biaya operasionalnya lebih murah dan kualitas hidupnya lebih baik. Siapa tahu, ini justru awal dari desentralisasi ekonomi yang lebih sehat buat Indonesia.

Jadi, kalau kita tarik benang merahnya, jelas banget kalau perdebatan soal UMR zaman sekarang udah nggak sesimpel dulu. Ini bukan lagi soal adu gede-gedean angka gaji di slip, tapi soal adu cerdas dalam menghitung realita kehidupan. Fenomena "pulang kampung" bukanlah sebuah langkah mundur, melainkan sebuah manuver cerdas dari generasi pekerja yang sadar bahwa kesejahteraan itu bukan cuma soal nominal, tapi soal kualitas hidup, ketenangan batin, dan kebahagiaan yang nyata. Pada akhirnya, para pekerja ini mengajarkan kita semua sebuah pelajaran penting: definisi "sukses" itu kita sendiri yang tentukan, dan terkadang, kesuksesan terbesar adalah punya keberanian untuk memilih jalan yang membuat kita benar-benar "hidup", bukan sekadar "bertahan hidup".

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun