Di era sekarang, sibuk bukan lagi sekadar rutinitas dia sudah jadi identitas. Banyak dari kita, apalagi anak muda Gen Z, merasa harus selalu produktif. Mulai dari kuliah, kerja part-time, freelance, sampai bikin konten atau usaha kecil-kecilan. Rasanya kalau sehari nggak ngapa-ngapain tuh kayak bersalah. Seakan-akan nilai diri kita diukur dari seberapa banyak hal yang kita kerjakan hari ini. Padahal, di balik semua itu, ada lelah yang sering kita abaikan.
Tapi capek bukan dosa, dan rehat bukan bentuk kegagalan. Justru, dalam jeda, sering kali kita baru sadar: selama ini kita bukan benar-benar ngejar mimpi, tapi cuma lari dari rasa takut dianggap gagal. Istirahat yang tulus itu langka, karena kita sibuk ngebuktiin sesuatu entah ke orang lain, atau ke diri sendiri yang nggak pernah puas. Dan inilah saatnya kita berhenti sebentar, bukan karena menyerah, tapi karena kita juga butuh bernapas.
Ada semacam tekanan tak terlihat yang kita sendiri nggak tahu datangnya dari mana yang bikin kita merasa harus selalu sibuk. Entah karena budaya hustle yang merajalela di media sosial, atau karena lingkungan sekitar yang selalu terlihat 'on fire', kita jadi takut kalau ketinggalan. FOMO (fear of missing out) nggak cuma soal event atau tren, tapi juga soal pencapaian. Ketika orang lain update "kerja sama brand ini", "lolos magang itu", atau "lagi ikut proyek ini", tanpa sadar kita merasa harus punya sesuatu buat dibanggakan juga. Produktivitas berubah dari kebutuhan menjadi tuntutan sosial.
Apalagi di tengah budaya membandingkan diri yang makin intens. Kita lupa kalau setiap orang punya kapasitas, latar belakang, dan ritme hidup yang berbeda. Tapi karena kita hanya melihat hasil akhir orang lain, bukan prosesnya, kita jadi mikir kalau kita 'kurang' atau 'ketinggalan'. Akhirnya, kita terus memaksa diri untuk bergerak, tanpa benar-benar tahu kenapa. Istirahat pun terasa seperti kemunduran. Padahal, bisa jadi, itulah satu-satunya hal yang justru kita butuhkan.
Budaya hustle mengajarkan kita bahwa waktu harus dimaksimalkan sepenuhnya untuk berkarya, mengejar target, dan menghasilkan sesuatu yang bisa dipamerkan. Tapi yang sering terlupakan adalah: manusia bukan mesin. Ketika segala hal diukur dari produktivitas, nilai kita seakan bergantung pada apa yang kita capai. Ini membuat kita mengabaikan pentingnya istirahat, memaknai jeda, dan menikmati proses. Padahal hidup nggak melulu soal hasil. Kita butuh ruang untuk merasa lelah, gagal, atau bahkan bosan.
Ironisnya, budaya hustle justru bisa membuat kita kehilangan arah. Alih-alih produktif karena tujuan jelas, kita jadi sibuk hanya agar terlihat sibuk. Burnout pun sering terjadi bukan karena terlalu banyak kerja, tapi karena terlalu lama menahan tekanan tanpa pemulihan. Ketika semua jadi 'harus', kita nggak lagi bisa membedakan mana yang penting, mana yang perlu ditunda, dan mana yang seharusnya dilepaskan. Kita jadi hidup dengan mode survival terus-menerus padahal hidup seharusnya dinikmati juga, bukan sekadar dijalani.
Rehat sering kali disalahartikan sebagai kemunduran. Di tengah laju hidup yang cepat, berhenti sejenak dianggap kalah saing, padahal justru sebaliknya. Rehat adalah bagian penting dari proses panjang menuju keberlanjutan. Tanpa rehat, energi habis, kreativitas mandek, dan yang tersisa hanya tubuh yang dipaksa bertahan. Produktivitas bukan soal terus bergerak, tapi tahu kapan waktunya diam untuk bisa bergerak lebih jauh.
Saat kita rehat, kita memberi ruang bagi diri untuk bernapas, mengevaluasi arah, dan mendengar kembali suara hati yang kerap tertimbun rutinitas. Banyak momen inspirasi justru muncul ketika kita sedang tidak ngapa-ngapain. Dan yang paling penting: rehat mengingatkan kita bahwa kita manusia biasa boleh lelah, boleh gagal, dan sangat boleh untuk mengambil waktu buat diri sendiri tanpa rasa bersalah. Karena rehat bukan akhir, tapi jeda agar bisa mulai lagi dengan kepala yang lebih jernih dan hati yang lebih penuh.
Di zaman ketika segalanya dituntut cepat cepat lulus, cepat kerja, cepat sukses memilih hidup pelan-pelan bisa jadi dianggap aneh. Tapi justru di situlah letak perlawanan yang paling lembut namun bermakna. Menikmati proses, menghargai waktu istirahat, dan tidak membandingkan hidup dengan timeline orang lain adalah cara kita mengambil kembali kendali atas hidup yang sering dipaksa untuk selalu gaspol.
Perlawanan ini bukan tentang menjadi pasif, tapi tentang menyadari bahwa kebahagiaan dan keberhasilan tidak selalu hadir dalam kecepatan. Banyak hal baik yang tumbuh perlahan: hubungan yang sehat, pemahaman diri, bahkan cita-cita yang besar. Pelan-pelan bukan berarti tidak ambisius justru karena tahu ke mana arah tujuan, kita tidak mau asal buru-buru. Kita memilih untuk hadir penuh dalam setiap langkah, bukan hanya sekadar sampai di tujuan tapi juga menikmati jalannya.