Saat ini saya sedang “tidak tertarik” dengan isu kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, rendahnya tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan, atau keterlibatan perempuan di ruang publik serta hal lain yang menjadi isu dan tuntutan sebagian perempuan.
Saat ini yang terbayang oleh saya hanya betapa “istimewa” menjadi perempuan. Hanya perempuan yang boleh memilih untuk berkarir di luar rumah atau di rumah, atau hanya perempuan yang mendapat “cuti” PMS setiap bulannya dan banyak lagi “hak istimewa” yang diperoleh perempuan.
Laki-laki tidak mungkin memilih. Perempuan “boleh memilih” untuk hamil dan menyusui atau tidak. Kembali, laki-laki tidak bisa memilih betapapun inginnya. Sungguh indah menjadi perempuan.
Kata "perempuan" berasal dari kata "empu" dalam bahasa Jawa Kuno yang kemudian kata “empu” diserap ke dalam Bahasa Melayu yang berarti "tuan, mulia, hormat".
Sumber lain menyebutkan bahwa kata empu dalam perempuan berhubungan dengan kata ampu yang berarti "sokong” atau “penyangga".
Dari kedua makna tersebut, kata perempuan mengacu kepada sebuah kedudukan yang sangat terhormat di muka bumi ini. Tidak ada satupun “asosiasi makna” dengan persoalan kesetaraan yang melekat pada makna kata perempuan, misalnya.
Meskipun tidak mengandung makna kesetaraan atau yang selaras dengan itu, makna kata perempuan tetap sangat “bergengsi”.
Jika ingin dikaitkan dengan persoalan spritual atau agama, maka agama sudah mengatur hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki secara rinci beserta dalil-dalil didalamnya.
Meskipun sebagian orang berpendapat ada tafsir agama yang dipandang memberikan keuntungan bagi laki-laki dibandingkan dengan perempuan dalam relasi sosialnya di masyarakat, tetapi bisa jadi tafsir tersebut merupakan hasil konstruksi sosial.
Tentu saja bagi sebagian masyarakat yang sangat terikat dengan sosio-kultural yang sangat kental, persoalan hak perempuan menjadi hal yang harus diperjuangkan.