"Duh, persendian gue sakit nggak sembuh-sembuh deh. Kenapa ya?" keluh Mawar ketika mereka sedang santai sepulang bekerja sambil ngopi-ngopi cantik di sebuah kafe.
"Lo nggak mau periksa ke dokter? Daripada lo minum obat-obat gak jelas?" komentar Melati.
"Nggak ah, males. Ntar gue beli obat herbal di toko langganan gue aja. Dua hari lalu gue dikasih obat herbal, langsung cespleng. Badan gue berasa langsung segar," lanjut Mawar.
"Ih, lo nggak takut tuh obat herbal ada kandungan macem-macem?" tanya Melati khawatir.
"Ya nggak lah, obat herbal kan udah pasti lebih aman. Kan bahan-bahannya alami," balas Mawar santai.
Kondisi percakapan di atas masih sering saya temui di kalangan masyarakat awam. Tapi nyatanya pemikiran bahwa obat herbal lebih aman daripada obat kimia hanyalah mitos belaka. Pada artikel sebelumnya, saya sudah memberikan penjelasan terkait beberapa mitos seputar obat yang perlu diketahui. Berikut beberapa mitos lainnya beserta fakta dan penjelasannya:
Mitos 8: Pemberian vaksin pada anak secara bersamaan pada satu waktu dapat menimbulkan efek samping berbahaya
Beberapa vaksinasi memang diberikan secara bersamaan (imunisasi ganda) seperti DPT (difteri, pertussis, tetanus), MMR (measles, mumps, rubella), dan vaksin polio, hepatitis B, HiB (Haemophilus influenzae Tipe B). Vaksinasi kombinasi telah digunakan sejak lama dan terbukti aman dan efektif. Berdasarkan rekomendasi WHO, vaksinasi kombinasi bertujuan antara lain:
- Menghemat waktu dan biaya dengan menurunkan frekuensi kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan,
- Mengurangi jumlah injeksi sehingga mengurangi rasa tidak nyaman bagi anak-anak,
- Membantu anak mencapai target vaksinasi lengkap sesuai kebijakan nasional.
Dan sesuai prosedur imunisasi, bayi atau anak diminta menunggu selama kurang lebih 30 menit untuk pemantauan kemungkinan terjadinya Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI), supaya dapat ditangani lebih awal. Tenaga kesehatan juga memberikan informasi bagaimana cara mengatasi KIPI yang muncul setelah bayi atau anak sampai di rumah, termasuk pemberian obat. Oleh sebab itu dianjurkan agar bayi atau anak dalam kondisi sehat pada saat menerima imunisasi.
Mitos 9: Kalau suatu obat dapat menyembuhkan orang lain, pasti akan manjur juga untuk saya
Perlu diketahui bahwa efektivitas obat juga dipengaruhi oleh kondisi pasien itu sendiri, seperti usia, berat badan, kondisi patologik, hingga faktor genetik. Saat pasien menerima resep, dokter sudah menilai kondisi pasien sebelumnya sebagai dasar dalam menentukan diagnosis, jenis dan dosis obat yang dapat digunakan. Oleh sebab itu efektivitas kerja obat belum tentu sama ketika digunakan oleh orang yang berbeda. Jadi sebaiknya kita tidak boleh sembarangan berasumsi bahwa kita dapat menggunakan obat sisa atau obat yang sama dengan yang digunakan oleh anggota keluarga atau orang lain tanpa berkonsultasi lebih dulu dengan dokter atau apoteker, meskipun gejala penyakitnya mirip-mirip.
Baca juga: Pengobatan Presisi dengan Implementasi FarmakogenomikÂ
Mitos 10: Perolehan imun lebih baik berasal dari penyakit daripada vaksinasi
Respon imun terhadap vaksin kurang lebih sama dengan respon yang dihasilkan terhadap infeksi alami. Namun vaksinasi dapat mengurangi risiko tinggi akibat infeksi/penyakit alami karena vaksin berupa virus yang dilemahkan, sehingga membantu tubuh untuk lebih siap mencegah infeksi virus.
Mitos 11: Penyebaran penyakit tidak akan terjadi jika higiene & sanitasi diterapkan secara konsisten
Higiene dan sanitasi memang salah satu upaya yang bisa kita lakukan untuk mencegah infeksi penyakit, namun tidak menjamin kita terbebas 100% dari infeksi. Oleh sebab itu vaksinasi wajib dilakukan untuk memaksimalkan perlindungan tubuh terhadap kemungkinan penyebaran infeksi.
Mitos 12: Semakin banyak suplemen kesehatan yang dikonsumsi, semakin baik/sehat.
Produk suplemen kesehatan memang dapat membantu suplementasi (asupan tambahan) vitamin dan mineral tertentu untuk memenuhi kebutuhan tubuh. Namun bukan berarti konsumsi suplemen kesehatan dalam jumlah banyak akan menjamin kesehatan semakin baik. Beberapa suplemen justru menimbulkan efek negatif ketika dikonsumsi dalam jumlah berlebih atau jangka panjang. Kebutuhan vitamin dan mineral terbaik tetap berasal dari asupan makanan bergizi.
Mitos 13: Obat herbal pasti aman karena berbahan alami
Masih banyak yang berpikir bahwa obat herbal lebih aman dan minim efek samping dibandingkan obat kimia karena komposisi obat herbal adalah bahan-bahan alami. Walaupun tidak seperti obat senyawa kimia yang aturan pakai dan dosisnya diatur secara ketat, obat bahan alam (OBA) tetap memiliki risiko terhadap kesehatan ketika tidak digunakan sesuai anjuran. Interaksi obat juga dapat terjadi ketika OBA dikonsumsi bersamaan dengan obat kimia.
Interaksi tersebut dapat mengakibatkan penurunan efektivitas obat atau justru menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi pasien. Selain itu, OBA yang diperoleh dari sarana kefarmasian tidak resmi rentan mengandung bahan kimia obat (BKO) yang sejatinya tidak diperbolehkan ada dalam produk OBA. Beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab, mencampur BKO dalam OBA supaya menghasilkan efek cespleng. Hal ini sangat berbahaya bagi yang mengkonsumsi produk tersebut karena tidak diketahui jenis dan dosis BKO yang dicampurkan. Oleh sebab itu kita patut curiga ketika kita merasakan efek cespleng setelah minum OBA. Belilah produk OBA dari fasilitas pelayanan kefarmasian yang resmi seperti apotek, toko obat, toko retail ternama.
Baca juga:
Katanya Obat Tradisional, Tapi Kok Cespleng?
Ini Dia Bedanya Jamu, Obat Herbal Terstandar, dan FitofarmakaÂ
Mitos-mitos di atas cukup erat kaitannya jika dihubungkan dengan upaya swamedikasi (pengobatan mandiri). Upaya ini memungkinkan masyarakat membeli obat-obatan untuk mengatasi gejala-gejala penyakit ringan tanpa ke dokter lebih dulu. Oleh sebab itu penting bagi masyarakat untuk berpikir cerdas supaya tidak keliru mengambil atau menerima upaya pengobatan. Selain itu penting juga bagi tenaga kesehatan untuk memberikan informasi yang jelas dan edukatif bagi masyarakat.
Apakah pembaca sekalian pernah mendengar mitos-mitos lainnya seputar obat dan bertanya-tanya dengan kebenarannya? Yuk kita diskusi di kolom komentar.
Tanya obat, tanya apoteker!
Referensi
WHOÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI