Jujur saja, sebelum menulis ini saya berpikir berulang kali karena mungkin saja tulisan ini akan menyinggung pihak lain. Tapi setelah dipikir-pikir, tidak ada salahnya saya mengutarakan opini sepanjang saya tidak bermaksud buruk dengan adanya tulisan ini. Dan kebetulan sekali, topik khusus yang diangkat tim redaksi Kompasiana kali ini adalah tentang pesta pernikahan.
Kalau saya amat-amati, biasanya bulan Juli -- Oktober boleh dibilang musim kawin, karena banyak pesta pernikahan digelar dimana-mana.
Kalau kata orang, empat bulan ini paling cocok untuk menggelar pesta pernikahan karena pertama, hari raya Idul Fitri sudah lewat sehingga harga sembako sudah mulai turun kembali (terutama tahun-tahun belakangan ini karena tanggal Idul Fitri selalu maju setiap tahunnya).
Kedua, empat bulan ini masih dalam peralihan musim kemarau ke musim hujan. Jadi seharusnya tidak terlalu panas dan curah hujan juga belum terlalu tinggi.
Dan ketiga, musim liburan anak sekolah sudah lewat. Jadi bagi keluarga yang akan menggelar pesta pernikahan namun masih memiliki anak yang duduk di bangku sekolah, biaya yang harus dikeluarkan terkesan agak longgar (padahal sih sama saja).
Bicara pernikahan, berarti bicara biaya yang harus siap dikeluarkan. Meskipun ditanya, "habis berapa untuk pesta ini?", pasti jawabnya "Yah, banyak lah pokoknya".
Kata 'banyak' di sini bisa berarti belasan, puluhan hingga ratusan juta rupiah. Tidak ada standar khusus memang. Yang jelas, semakin besar dan megah suatu pesta, semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Apalagi kalau pesta pernikahan tersebut berupa pesta adat (karena Indonesia masih kental adat istiadatnya).
Dan karena saya kebetulan berasal dari suku Batak yang besar dan tinggal di Jakarta, boleh saya pastikan, biaya yang harus dikeluarkan untuk pesta adat Batak di Jakarta minimal seratus juta rupiah (dan biasanya lebih).
Jangan khawatir, biaya tersebut belum termasuk biaya adat sebelum pernikahan mulai dari Marhusip (semacam lamaran), Martumpol (pertunangan), dan Martonggoraja (persiapan akhir).
Meski zaman sudah berubah menjadi serba cepat dan praktis, bukan berarti kita serta-merta boleh melupakan adat istiadat yang katanya terkenal rempong bin ribet dan menghabiskan banyak uang. Bagaimanapun adat-istiadat adalah identitas kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang beraneka ragam.
Berkali-kali saya pernah memperoleh wejangan dari para tetua, bahwa pernikahan tidak harus bermegah-megah. Yang penting seluruh unsur adat yang diwajibkan ada dan bisa dilaksanakan, maka pesta adat tersebut sah.
Tapi fakta bahwa ada biaya yang begitu besar yang harus dikeluarkan dibalik pelaksanaan adat tersebut, membuat para kaum milenial menjadi antipati. Hidup di perantauan saja sudah susah, apalagi menyiapkan biaya untuk pesta adat. Dan kalau kedua calon mempelai memilih untuk mengadakan pesta resepsi biasa, tidak sedikit mulut orang di luar sana yang bergunjing.
Pun jika mereka memutuskan pesta adat yang minimalis, tetap saja ada yang nyinyir. Mengapa? Karena semuanya berkaitan dengan gengsi.
Saya jadi ingat salah satu tulisan di Kompasiana yang menyatakan bahwa "yang mahal itu bukan pernikahannya, tapi gengsinya". Ada benarnya juga. Dan fenomena inilah yang saya lihat di pesta pernikahan adat Batak. Rasa gengsi ini ada di setiap aspek persiapan pesta adat sehingga tampaknya begitu sulit untuk diabaikan apalagi dihilangkan, misalnya:
Sewa Gedung dan Katering
Dua hal ini boleh dibilang yang paling banyak menyedot anggaran. Rata-rata gedung adat batak di Jakarta berkapasitas seribu orang dan untuk biaya sewa selama satu hari (pagi hingga sore, karena acara adat berlangsung seharian) berkisar 30 -- 80 juta rupiah.
Gedung-gedung tertentu juga sudah dikenal di kalangan orang Batak sebagai gedung mewah. Contoh, kalau pesta diadakan di gedung sekelas Mulia Raja atau Balai Samudera, pastilah yang punya Ulaon (acara) orang terpandang dan semua tamu akan terkesan.
Kasarnya, kalau makanan kurang, maka pesta tersebut bisa jadi gunjingan tujuh pomparan (alias tujuh turunan)! Serem kan? Saya yakin sekali tidak ada keluarga yang tidak memperhitungkan jumlah tamu dan katering yang dipesan. Semua pasti ingin tamunya merasa puas dan mendapat makan.
Tapi menurut saya pribadi, kekurangan ini tak lepas dari banyaknya tamu yang mengambil makanan begitu banyak di piringnya, tapi karena tidak sesuai selera lidah, makanan tersebut dibiarkan begitu saja di meja pojokan. Sayang kan? Hayo, siapa yang suka seperti itu?
Baju Pengantin dan Tata Rias
Alasannya sekali seumur hidup. Jadi pengantin perempuan harus terlihat heboh bin glamor bin mewah. Kebaya brokat harus yang kualitas tinggi dan full payet, songket dan selendang harus baru berharga jutaan rupiah, make-up dan hair-do harus dari salon terkenal, tak lupa perhiasan emas yang bikin silau mata.
Seragam Tamu Undangan
Ini yang paling membuat saya heran. Entah sejak kapan dan dari mana kebiasaan memberikan seragam kepada para tamu undangan. Dan setahu saya, memberikan seragam keluarga bukan suatu keharusan.
Dalam pernikahan adat Batak (mungkin yang lainnya juga ada) pasti keluarga mempelai mengalokasikan dana untuk membeli seragam keluarga. Padahal pembelian seragam ini termasuk salah satu unsur yang biayanya dapat ditekan.
Jujur saja menurut saya terkadang 'perseragaman' ini memberatkan keluarga mempelai. Mengapa? Karena kalau hanya orang tertentu saja yang diberikan, yang lain akan iri.
Bahkan ada yang terang-terangan bertanya, "seragam untuk saya mana?". Masih mending hanya bertanya seperti itu, tapi ketika muncul satu pertanyaan lagi, "uang jahitnya mana?". Kebayang dong pusingnya keluarga mempelai?
Bahkan bila kalian dimintai bantuan untuk jadi bridesmaid atau bestman, terima lah dengan sungguh-sungguh (jika memang mau) tanpa meminta imbalan seragam, sepatu dan macam-macam. Jika calon pengantin mengalokasikan untuk itu syukuri, tapi jika tidak ya jangan protes apalagi menolak permintaan mereka.
Sinamot (Mahar)
Dalam tradisi pernikahan adat Batak, Sinamot akan diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Besaran sinamot ini juga tidak ada standar pastinya. Semua tergantung kesepakatan dan keikhlasan kedua belah pihak yang akan mengadakan Ulaon.
Tapi faktanya, semakin terpandang dan berpendidikan si mempelai perempuan, semakin tinggi pula Sinamot-nya. Apalagi jika Ulaon diselenggarakan (menjadi tanggung jawab) oleh pihak perempuan. Semakin besar pula Sinamot yang harus disiapkan.
Besaran Sinamot ini nantinya akan diumumkan ke seluruh keluarga. Namun besaran Sinamot ini bisa jadi digunjingkan juga bila dianggap tidak sesuai atau tidak pantas bagi mereka yang mendengarnya. "Ah, padahal si cewek ini dokter loh, masa mau Sinamot-nya cuma segitu". Terbayang dong kalau didengar keluarga pengantin pria?
Dengan adanya resiko-resiko di atas, mau tidak mau gengsi akan tetap ada dalam setiap pesta adat pernikahan Batak. Bagaimanapun keluarga menekan biaya, pada akhirnya biaya akan membengkak dengan adanya intervensi dari keluarga besar. Mengapa? Karena dalam acara tersebut yang terlibat tidak hanya keluarga inti kedua mempelai, melainkan seluruh marga yang berkaitan dengan keluarga kedua mempelai. Masing-masing mempunyai gengsi tersendiri supaya tidak dianggap remeh oleh marga yang lain.
Saya bukannya menentang pesta adat semacam ini, tapi saya menyayangkan mereka-mereka yang memiliki sudut pandang yang mengedepankan dan mengutamakan gengsi di atas batas kemampuan.
Bukankah esensi dari adat itu sendiri adalah kesakraklan dan makna yang harus diresapi sebagai pedoman kehidupan sehari-hari, dan bukannya mengutamakan gengsi semata?