Mohon tunggu...
Irmina Gultom
Irmina Gultom Mohon Tunggu... Apoteker - Apoteker

Pharmacy and Health, Books, Travel, Cultures | Author of What You Need to Know for Being Pharmacy Student (Elex Media Komputindo, 2021) | Best in Specific Interest Nominee 2021 | UTA 45 Jakarta | IG: irmina_gultom

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Meniadakan PR untuk Meningkatkan Pendidikan Karakter? Belum Tentu

22 Juli 2018   13:00 Diperbarui: 22 Juli 2018   17:25 2335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: huffingtonpost.com

Belakangan ini saya banyak membaca artikel di Kompasiana tentang kontroversi PR alias Pekerjaan Rumah, yang biasanya diberikan oleh guru di sekolah kepada murid-muridnya. Yang saya tahu, isu meniadakan PR ini sudah sejak dulu menjadi kontroversi.

Jadi rupa-rupanya isu ini kembali muncul setelah Dinas Pendidikan Kota Blitar mengeluarkan surat edaran kepada para guru supaya tidak lagi memberikan PR kepada murid-muridnya. Alasannya? Ya, supaya anak-anak tersebut memilki lebih banyak waktu belajar pedidikan karakter di lingkungan keluarga dan masyarakat.

Saya jadi ingat waktu saya masih sekolah SMP dan SMA dulu. Kebetulan selama enam tahun itu, saya bersekolah di sekolah Katolik. Dan saya ingat betul sistem belajar saat itu luar biasa melelahkan. Guru-guru saya seakan-akan tidak pernah kehabisan ide untuk membuat murid-muridnya super sibuk. 

Saya sempat berpikir mereka begitu pantangnya membuat siswa-siswinya menganggur, sehingga mereka selalu memberikan banyak PR dan ulangan. Pokoknya sudah kayak level mahasiswa deh. Oleh sebab itu, keluhan "aduh, kenapa sih harus ada PR?" seringkali terdengar di antara para murid (termasuk saya). 

Jam sekolah yang hampir mirip jam kerja karyawan swasta (dari pagi hingga sore) sudah cukup membuat para murid kelelahan. Dan sesampainya di rumah saya masih harus mengerjakan PR plus belajar untuk ulangan (jika ada).

Saya sadar betul saya bukan orang yang bekerja maupun ahli dalam bidang akademi. Saya bukan guru apalagi dosen. Dan opini saya mengenai kontroversi PR kali ini, saya sampaikan berdasarkan pengalaman saya yang mengenyam pendidikan formal, alias pernah berstatus siswi dan mahasiswi selama 19,5 tahun (beuh, lama juga ya!). 

Tanpa bermaksud menjelekkan pandangan orang lain yang berseberangan, jujur saja saya menganggap PR itu adalah sesuatu yang sangat penting dan dengan meniadakannya bukan berarti bisa mencapai target/tujuan seperti yang dimaksudkan oleh Dinas Pendidikan Kota Blitar tersebut.

Banyak orang (termasuk orangtua murid) yang beranggapan bahwa banyaknya PR dapat memberikan efek negatif bagi anak. Mulai dari kurangnya waktu bersama keluarga dan teman, tidak bisa menikmati masa anak-anak/remaja dengan selayaknya, stres, hingga penurunan kesehatan akibat kurang tidur. 

Saya akui hal-hal tersebut bisa menjadi resiko setiap anak. Bahkan saya sering menemukan anak-anak zaman sekarang tidak bisa mengatur dirinya sendiri alias mandiri dan sulit berkomunikasi dengan orang lain di luar lingkaran teman dan keluarga, akibat terlalu fokus pada urusan akademik. Anak jadi tidak punya karakter dan kepribadian. Padahal dalam kehidupan sosial, pada akhirnya peran akademik hanya sekian persen.

Tapi sekali lagi, meniadakan PR menurut saya tidak akan menyelesaikan masalah-masalah di atas. Mengapa?

PR adalah cara awal mengajarkan anak bertanggung jawab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun