Mohon tunggu...
Irma Susanti Irsyadi
Irma Susanti Irsyadi Mohon Tunggu... -

hanya seorang pecinta kata-kata

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Tenanglah Kaum Tertolak PPDB, Semua Sekolah Akan Favorit pada Waktunya

12 Juli 2018   22:44 Diperbarui: 13 Juli 2018   13:31 2456
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: walcoo.net

Topik PPDB Kota Bandung masih menjadi bahasan terhangat beberapa hari terakhir ini, selain dari kemenangan Kroasia yang mengantarkannya ke final piala dunia.

Topik ini juga memanas di beberapa grup, sebab tentu, ada begitu banyak orang tua di Bandung yang merasa amat kecewa karena anak-anak mereka tak mampu bersekolah di tempat yang sudah mereka idam-idamkan.

Jika membaca pelbagai laman berita, nampaknya kita mesti setuju bahwa sekolah-sekolah tidak semuanya siap dengan sistem zonasi ini. Bukan soal kedekatan secara jarak, namun lebih pada kesiapan daya tampung. Pada aturan PPDB 2018 yang saya terima (diberikan dengan suka hati oleh seorang teman baik), disebutkan bahwa paling sedikit sekolah harus memiliki tiga (3) rombongan kelas dan paling banyak 36 rombongan belajar dari 3 tingkatan (per angkatan 12 kelas).

Paling mencolok yang terjadi, adalah ketimpangan antara jumlah pendaftar untuk tingkat SMP, dengan jumlah sekolah yang tersedia. Dari jumlah kursi sebanyak 16.760, jumlah pendaftar adalah sebanyak 39.680 siswa, artinya ada sekitar 22 ribu yang tidak diterima di sekolah negeri maupun swasta. Kadisdik kota Bandung sendiri sudah berjanji akan membantu penyaluran para siswa tersebut.

Mengapa ini bisa terjadi, ternyata celahnya ada di Pemkot Bandung yang tidak memiliki data terbaru lulusan SD per tahun di tiap wilayah. Padahal data per wilayah ini mutlak dibutuhkan sebab PPDB memakai aturan zonasi. Artinya, pemetaan wilayah belum maksimal dilakukan, sementara aturan sudah dilaksanakan.

facepalm.gif
facepalm.gif
Jalur penerimaan siswa sendiri terdiri atas Keluarga Ekonomi Tidak Mampu (KETM), Penghargaan Maslahat Guru (PMG) dan Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), Warga Penduduk Setempat (WPS), jalur prestasi akademik/non akademik dan Nilai Hasil Ujian Nasional (NHUN).

Dari semua jalur tersebut, sebanyak 90 % diperuntukkan untuk zona di dalam wilayah, dan 10 % dari luar wilayah. Jadi kembali lagi ke analogi saya kemarin, jika situ rumahnya di Ngamprah KBB, jangan harap bisa daftar ke SMA 2 Bandung, kecuali situ punya NHUN sangat tinggi sehingga bisa masuk kuota 5% atau prestasi keren sehingga bisa masuk kuota 5% lagi.

Sebanyak 90% kuota untuk zona wilayah ini terbagi antara semua jalur peserta didik di atas (sebaran terbanyak 40 % untuk jalur NHUN). Batasan wilayah adalah jarak terdekat 35 meter sampai jarak terjauh 5,9 Km. Agak membingungkan untuk jarak terdekat, sebab 35 meter itu dekat sekali, tidak semua sekolah berbatasan langsung dengan permukiman penduduk sedekat itu.

Jika Anda pusing membaca tulisan saya sampai di sini, percayalah bahwa saya juga. Namun semakin membaca banyak, semakin saya sadar masyarakat sedang dipersiapkan untuk sebuah perubahan besar. Para orang tua yang tadinya menargetkan anak-anak mereka untuk selalu melanjutkan pendidikan ke sekolah favorit, kini mesti bersiap menghadapi kenyataan anak-anak mereka terpaksa bersekolah di sekolah biasa saja, tanpa ekskul cheerleader dan debating club.

Kekurangan pasti masih ada, namanya juga sebuah perubahan. Tak serta merta langsung mulus seperti jalan tol yang baru dibangun di Sulawesi. Apalagi, sistem zonasi tak hanya membuat dinas pendidikan kewalahan, namun juga pemerintah kota, yang harus mendukung dengan data akurat. Tercatat ada 700 keluhan mengenai PPDB yang disampaikan ke disdik kota Bandung. Sebuah pelajaran penting bagi pelaksanaan tahun-tahun selanjutnya.

Sampai di sini, saya harus mengucapkan turut prihatin kepada semua orang tua yang sudah berjuang mendaftarkan anak-anak mereka ke sekolah idaman, dan terpaksa harus bersabar dengan hasil yang tak selalu sesuai dengan harapan.

tenor.gif
tenor.gif
Semoga Bapak Ibu diberikan ketabahan dan kesabaran. Anak-anak juga diberikan kebesaran hati. Dan semoga panitia PPDB ke depannya bisa bekerja lebih baik, terutama dalam hal akses data daring, sebab server PPDB beberapa kali sulit diakses orang tua.

*ga flash sale, ga pilkada, ga PPDB, server pasti down*

Ke depannya, ada yang lebih penting dari ini. Pelajaran yang mungkin pahit di lidah, namun nampol di kepala (apaseeh).

Mengubah mindset orang tua di tahun-tahun mendatang.

Jreeeeng!

(slumband.blogspot.com)
(slumband.blogspot.com)
Jauh sebelum zaman Amy Search wara-wiri sambil nyanyi Isabella, para orang tua di Jawa Barat, khususnya, sudah melabeli sekolah favorit dan sekolah biasa. Pelabelan bukan terjadi atas wangsit dari membaca garis tangan tentunya, melainkan dari prestasi sekolah bersangkutan, dan kualitas lulusan.

"Belajar di sekolah favorit itu beda rasanya! Motivasi belajarnya tinggi, kompetisi sehat terus-menerus ada, penting!" ujar seseorang yang dituangkan pada kolom komentar.

Oh iya, tentu saja, semua orang tahu itu. Anak-anak yang masuk sekolah favorit itu kan nilainya tinggi-tinggi, ga mungkin pas masuk, pengennya main sulap. Tentu mereka suka belajar, dan menciptakan kondisi belajar yang kondusif. Belum soal wawasan. Anak-anak di sekolah favorit biasanya punya wawasan yang lebih, sebab mereka punya akses lebih banyak, sebab sekolah-sekolah jenis ini biasanya terletak di dekat pusat kota, bukan nyungsep di wilayah termarginalkan, di sebelah kebun Jagung.

Akses terjangkau, etos belajar terbentuk, wawasan luas, wajar lah kiranya jika anak-anak ini kemudian juga diterima di perguruan tinggi yang bergengsi. PTN nganu dan ngonoh. Paling banter PTS apalah, yang akreditasi sebagian besar jurusannya A.

Oh tunggu, dulu.

Si anak-anak di wilayah termarjinalkan ini, apakah semuanya juga nyungsep otaknya?

(memegenerator.net)
(memegenerator.net)
Selalu ada anak-anak pintar yang juga berasal dari sekolah-sekolah standar, bahkan tertinggal, yang tak kalah bersaing dengan anak-anak di sekolah yang ngota.

Yaa, itu kan cuman 1 atau 2.

Betul, tapi bukan berarti tak mungkin, toh?

Jadi, jika dulu anak-anak pintar itu ngumpulnya di sekolah A dan B (sementara sekolah C sampe R itu sekolah swasta gurem), maka sekarang mereka tersebar di sekolah A sampai R. Setiap sekolah punya kojo sekarang mah. Pinternya nanti sama. Semua senang, semua bahagia, horeee.

"Tapi kan anak saya udah capek-capek belajar, biar skornya tinggi, mana udah bimbel pulak!"

Saya turut prihatin mendengarnya. Biaya les dan bimbel tentu tak murah. Namun perlu Bapak Ibu ingat, jika motivasi belajar anak hanya untuk mengejar sekolah favorit, err ... ada yang agak keliru di sini.

Jadi, kalo ga kepengen ke sekolah favorit mah, belajarnya biasa aja gitu? Gapapa males-malesan juga?

(memedeportes.com)
(memedeportes.com)
#pletak
#DisambitOrangtua

Memang susah untuk mengubah mindset bahwa belajar itu untuk mengerti, untuk mendapat ilmu, bukan untuk mendapat skor tinggi, kemudian diterima di sekolah favorit. Wajar untuk merasa kasihan sama anak, namun sangat wajar juga untuk memberi pengertian pada anak, bahwa ada perubahan sistem, dan perubahan ini bagus karena nantinya akan ada pemerataan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Mungkin anakmu hari ini kecewa, Anda pun kecewa. Namun pikirkan 5 tahun atau 10 tahun lagi, ketika semua anak mendapat akses pendidikan yang sama, diajar oleh guru-guru dengan standar serupa, bisa mengikuti ekstrakurikuler yang setara.

"Ah sok tau, yang ngomong pasti ga punya anak!"

Anak saya empat semuanya. Dua ada di tingkat SMA, satu bersekolah di MI, dan satu di TK. Kami sekolahkan mereka semua di sekolah swasta Islam, dengan harapan akan mendapat nilai plus berupa agama dan penanaman nilai. Selepas MTs, kami mendaftarkan mereka ke sekolah negeri, dengan harapan mereka akan punya wawasan lebih luas, memiliki teman-teman yang berbeda agama (ini penting sekali) dan menikmati nuansa yang berbeda.

Rumah kami di KBB (Kabupaten Bandung Barat). Tahun 2016, anak sulung kami ingin sekali bersekolah di SMA 2 Bandung, mengikuti jejak ayahnya. Apa daya hanya ada 10 % kuota untuk luar kota. NEM-nya termasuk bagus, namun untuk bersaing ke sana tentu sulit, sebab saat itu sudah ada sistem pengurangan nilai NEM, dll. Akhirnya ia mendaftar di sekolah negeri di Cimahi, ini pun sebetulnya sudah di luar kota. Untungnya diterima, padahal sudah siap mendaftar ke sekolah swasta (kembali) atau mendaftar ke SMA negeri di wilayah kami sendiri. Pengalaman serupa dialami oleh adiknya, si nomor 2.

Kabarnya, passing grade SMA di Cimahi meningkat tajam tahun ini, imbas dari sistem zonasi kota Bandung. Ini kabar bagus, tentu. Semoga sekolah-sekolah lain di kota-kota kecil yang biasanya 'ga dianggap' juga mulai dilirik oleh para orang tua.

Bagaimana dengan sekolah-sekolah berbasis madrasah di bawah Kemenag? Ini sebetulnya sangat bisa menjadi alternatif. Sebab madrasah tidak dikenai aturan zonasi. Pondok pesantren juga tidak. Orang tua muslim mungkin perlu memikirkan ini, sehingga tidak melulu mengacu ke sekolah favorit negeri (SMA/SMK).

"Tapi kan sekolah swasta mahal!"

Carilah, sekolah swasta yang tidak mahal. Hari ini, Ridwan Kamil selaku Wali Kota Bandung mengumumkan bahwa masyarakat tidak mampu akan dibantu pembiayaannya ke sekolah swasta asal melampirkan SKTM (bukan yang bodong).

Golongan paling menderita, mungkin menimpa orang tua kelas menengah; punya SKTM ga mungkin, membayar spp mahal di sekolah swasta elit, tidak bisa. Maka, jalan satu-satunya memang ikhlas untuk menyekolahkan anak ke sekolah yang biasa-biasa saja.

Saya tahu, ini menyakitkan. Sebab sebagai orang tua, saya pun ingin anak saya menginginkan pendidikan nomor satu, mendapat kesempatan jauh lebih besar dari yang dulu saya dapatkan. Namun di atas segalanya, ada aturan yang harus ditaati.

Ada mindset yang masih diubah, ada anak-anak yang masih bisa dididik dari sekarang, diberi pengarahan dan pengertian. Tentu ini mesti dilakukan terus menerus, bukan sesuatu yang gampang. Tak segampang pindah rumah dan ganti kartu keluarga.

Namun bukan sesuatu yang tak mungkin.

Maka, pada para orang tua yang bersiap untuk bertarung pada PPDB tahun depan (termasuk saya juga), mari persiapkan dari sekarang. Belajarlah dari pelaksanaan PPDB tahun ini. Teruslah semangati anak untuk belajar, mau ke sekolah manapun ia berakhir nanti, sebab ada proses yang harus dinikmati.

Sebab, sejatinya pendidikan itu mencerahkan, memberi wawasan, membentuk pola pikir.

Dan semua sekolah akan favorit pada waktunya.

Tautan berita:

Sumber gambar/gif:

  1. Mycroft
  2. Sabar
  3. Amy Search
  4. Mr Bean
  5. Oops

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun