Tahun 1997, saya pulang ke rumah menumpang Bus Damri rute Alun-alun Ciburuy. Di tangan saya tergenggam tas plastik isi pelbagai keperluan untuk OSPEK Fakultas.
Seperempat perjalanan, ada seorang Ibu tua terpaksa berdiri sebab bus sudah penuh. Karena saya penganut Dasa Darma Pramuka dan ingin mengamalkan butir Pancasila (yang entah butir keberapa saya lupa, maklum angkatan lama), saya berikanlah kursi saya untuknya.
Kondisi bus saat itu memang cukup penuh. Banyak sekali yang berdiri sehingga resiko tubuh berdekatan, bahu ketemu bahu, sangat mungkin.
Dan inilah yang terjadi.
Seorang lelaki berjaket parasut, berdiri tepat di belakang saya. Awalnya saya tidak merasa aneh ketika ia "seolah" menabrak saya dari belakang, karena Damri sering sekali tiba-tiba ngeremmendadak.
Saya mulai curiga ketika Bus berjalan dengan kecepatan normal, namun ia tetap maju mendekatkan tubuhnya ke tubuh saya. Saya geser, ia ikut bergeser. Lengannya saya rasakan, ada di sisi kanan tubuh saya. Kadang "seperti tanpa sengaja" menyentuh bagian paha dan bagian (maaf) bokong.
Perang berkecamuk di batin saya. Antara mau melabrak atau berhusnuzhon. Namun setelah sekian kalinya, saya tahu bahwa saya harus berani.
Saya membalikkan badan,
"Heh! Jangan macem-macem kamu!!"
Beberapa kepala langsung menoleh.
Ia gelagapan sebentar kemudian menjawab, seperti menantang,