Mohon tunggu...
Irma SiarTambunan
Irma SiarTambunan Mohon Tunggu... Administrasi - Pemerhati pangan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Seorang yg peduli ketahanan pangan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Petani Sawit Dihambat Birokrasi

4 April 2019   21:36 Diperbarui: 4 April 2019   21:39 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani sawit (dok. KATADATA /Arief Kamaludin)

Beberapa waktu lalu, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) mengklaim lebih dari 70% lahan perkebunan rakyat saat ini belum memiliki sertifikat. Jika menilik Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian (Kementan) pada tahun 2018 lalu, lebih dari 4 juta hektare dari total 5,8 juta hektare kebun sawit rakyat di Tanah Air belum punya legalitas.

Kondisi itu tidak terjadi pada satu persatu petani perorangan. Tapi bisa dibilang hampir semua pekebun swadaya tidak punya sertifikat atas lahan sawit mereka. Ada kendala biaya yang jadi penghalang bagi upaya mereka melakukan sertifikasi. Kalau tidak salah, menurut pengakuan beberapa petani, biaya sertifikasi itu mencapai Rp 3,5 juta per hektare. Nominal itu tentu bukan harga yang murah. Ketimbang mengeluarkan uang untuk mengurus surat-surat, kebanyakan petani lebih memilih untuk membeli pupuk agar sawit mereka makin agresif berproduksi.
Sumber

Meski ternyata administrasi lahan sawit itu tidak sekadar surat-surat semata. Ada aspek legalitas yang menggantung di situ. Selain lemah secara hukum, kelengkapan administratif itu juga rupanya menjadi syarat mutlak untuk verifikasi lahan dan memperoleh pendanaan dari perbankan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).

Menurut hitung-hitungan, dari alokasi anggaran peremajaan untuk 200 ribu hektare lahan sawit, baru sekitar 8 persen atau 16 ribu hektare yang bisa diurus rekomendasinya oleh Kementerian Pertanian (Kementan). Padahal rekomendasi baru proses di awal. Setelah itu, rekomendasi tersebut akan diberikan kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) yang akan memproses pencairan dana dari perbankan senilai Rp 25 juta/hektare bagi pekebun rakyat. Dana bantuan itu bisa dipakai untuk membeli bibit, pupuk, atau mungkin peremajaan pohon sawit sehingga petani bisa lebih produktif lagi.

Bisa terlihat bahwa program yang bagus, tidak selamanya berjalan mulus. Masih ada keengganan dari petani sawit untuk mengurus administrasi lahannya, meski sebenarnya mereka bisa dapat bantuan yang lebih besar ketimbang biaya administrasi lahannya. Di sini butuh penyadaran dan peran aktif dari Kementan sebagai pelindung dan pengayom petani.

Dukungan terhadap petani sawit sangat lah penting, mengingat sawit merupakan komoditas penting di Indonesia. Karena diperkirakan ada lebih dari 17 juta orang yang menggantungkan hidup di pengusahaan sawit.

Mempertimbangkan jumlah yang besar itu, pemerintah harus mati-matian membela kepentingan petani sawit. Karena perlindungan terhadap sawit, bisa dilihat sebagai perlindungan terhadap perekonomian nasional. Di era Jokowi, industri sawit yang dikombinasikan dengan dana desa terbukti berhasil mengurangi angka kemiskinan di pedesaan.

Pemerintah sendiri yang mengklaim bahwa minyak sawit sudah memberikan kesejahteraan kepada 20 juta orang rakyat Indonesia. Angka kemiskinan turun dari 10,12% pada 2017 menjadi 9% pada 2018. Industri sawit menciptakan lapangan kerja di semua tempat seperti Sumatera, Kalimantan, dan Papua.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun