Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Metamorfosis Seni dan Skenario Hidup

29 April 2021   01:34 Diperbarui: 29 April 2021   01:52 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Penulis

Seni pada dasarnya merupakan medium penyembahan terhadap dewa-dewa seperti yang dilakukan oleh masyarakat pada zaman Yunani Kuno. Mereka menggelar pertunjukan teater untuk menyembah dewa. Pada masa itu, seni digunakan sebagai alat pemujaan.

Maju, pada masa kejayaan sosialisme di eropa. Marx memberikan gagasan bahwa seni adalah alat perjuangan kelas. Sampai pada seni itu harus dipertanyakan lagi, sebenarnya apa yang dimaksud seni itu? Jawabannya tidak akan dimengerti pada satu zaman. Karena setiap zaman akan mendefinisikan seni dengan berbeda-beda.

Seni masa kini atau lebih akrab dengan sebutan seni kontemporer. Membawa gagasan-gagasan postmodernisme, salah satu biangkeladi yang akhirnya membentuk suatu masyarakat baru yaitu masyarakat postmodernisme ialah Fredrich Nietzsche. Seorang filsuf dan ahli filologi asal Jerman ini dengan kalimatnya "Tuhan telah mati" dalam karyanya Zarathustra. Membuat para orang modern, kembali mempertanyakan. Apakah dulu, ada Tuhan?

Perdebatan mengenai postmodernisme membawa seni pada gerakan bawah tanah anti kemapanan yang didahului oleh gerakan dadaisme. Kemudian disusul istilah Avant-Garde. Pada seni rupa, mengenal Vincent Van Gogh, yang menjelaskan bahwa seniman memiliki realitasnya sendiri dalam film At Eternity's Gate. Van Gogh merupakan salah satu seniman avant-garde.

Postmodernisme menyadarkan bahwa kehidupan tidak melulu mencari persoalan bagaimana caranya bahagia. Tapi postmodernisme membantu menyadarkan kita untuk menerima bahwa hidup ini adalah penderitaan. Nieztsche mengatakan hidup adalah penderitaan, dan kita harus mencari makna atas penderitaan. Sudah tugas seorang seniman mengubah penderitaan menjadi keindahan. Dan harus diakui, kita terlahir sebagai seorang seniman. Kita harus mampu mengubah penderitaan menjadi keindahaan. Keindahan bukan berasal dari hal baik-baik saja, tapi keindahan berasal dari hal-hal yang buruk. Mungkin, seni terlalu tinggi untuk dicapai oleh orang yang tidak memiliki insting kemanusiaan.

Kehidupan modern yang dipenuhi rutinitas baku. Tentang proses produksi dan alat produksi sampai terciptanya suatu gerakan massa yang satu tujuan, memperkuat persatuan dan diperalat oleh perwakilan menuju kehidupan yang rusak. Saat berdiri pada cermin yang membingungkan, bukan lagi saatnya balik mencari tuhan-tuhan yang telah mati, akan tetapi maju melawan semua rekayasa, konsep dan konstruksi kehidupan yang dimanipulasi, dengan tabir-tabir hirarki. Sampai dengan gagasan seperti itu, seni merepresentasikan kehidupan yang ideal (bebas) sekaligus hancur menjadi keindahan. Seni tidak dapat menjaga alam ini tetap indah tapi seni dapat menyadarkan masyarakat bahwa ia adalah salah satu unsur yang merusak keindahan alam semesta demi.

Memahami seni secara holistis, perlu memperlihatkan bagaimana seni itu tidak dipandang sebagai keindahan, akan tetapi dipakai sebagai alat yang indah. Setiap mata yang melihat keindahan sebenarnya dia sedang diperalat oleh seni. Sedang ditipu daya oleh seni, dengan diberi motivasi yang positif. Untuk tetap menjadi manusia yang repetitif, mencari kebahagiaan sesaat. Itulah seni, ketika berada ditangan kapitalisme. Masyarakat kapitalisme mencari kebahagiaannya dengan cara belanja. Mencari uang untuk belanja. Belanja barang-barang yang simbolisme dan memainkan perasaan. Bukan sebagai kebutuhan, kita anggap sekarang masyarakat tidak dapat membedakan apa yang disebut kebutuhan dan apa yang dikategorikan dengan keinginan. Manusia tidak dapat mengontrol itu, kehidupannya terus dikontrol dengan algoritma. Emosinya dijelajahi dengan teknologi biometrik. Sebegitunya seni dimanfaatkan untuk memperalat manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun