Mohon tunggu...
Irfan Suparman
Irfan Suparman Mohon Tunggu... Penulis - Fresh Graduate of International Law

Seorang lulusan Hukum yang hobi membaca dan menulis. Topik yang biasa ditulis biasanya tentang Hukum, Politik, Ekonomi, Sains, Filsafat, Seni dan Sastra.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Lebaran dan Bayang-bayang Ketakutan

23 Mei 2020   20:03 Diperbarui: 23 Mei 2020   20:07 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
thecrystalgems on pinterest


Ramadhan kali ini terasa berat dan begitu menyedihkan. Tahun 2020 di Indonesia dimulai dengan peristiwa banjir besar di beberapa daerah hingga sampai saat ini pandemi Covid-19 menjadi bayang-bayang menakutkan.

Keluar rumah seperti berjalan dalam malam diikuti kuntilanak. Sangat mengerikan. Pelarangan solat berjamaah di masjid, pelarangan mudik, pelarangan ibadah lainnya, pelarangan solat idul fitri menjadi catatan kelam ramadhan abad ke-21. Akan tetapi dibalik semua kesedihan itu kita melewati sahur selama 30 hari lebih, berbuka puasa bersama keluarga full adalah bagian lain dari ramdhan yang menyedihkan ini.Berbagai fenomena muncul mengjengjelkan hati dan seperti Aa Gym bilang.

Kalau saja semua bisa diam di rumah dan mengikuti anjuran pemerintah dan WHO kita semua akan dengan mudah memberantas penyebaran virus. Akan tetapi himbauan tidak seperti membalikan telapak tangan. Banyak aturan yang tidak konsisten membuat masyarakat memiliki kesempatan dan menyebabkan kelatahan lihat saja bagaimana orang buru-buru mudik sebelum saatnya tiba, pembukaan mall yang menyebabkan berjubelnya masyarakat, dan upacara penutupan McD sarinah oleh masyarakat posmodern Ibu Kota Jakarta mewarnai peristiwa before-during ramadhan.

Aku selalu bertanya dalam hati, apa yang akan aku dapatkan ketika aku berpuasa selama Ramadhan. Dan aku menemukan jawabannya sendiri. Mungkin jawaban ini akan berkembang seiring berkembangnya pemikiran aku.

Kenapa ramdhan selalu dirindukan oleh orang-orang, karena ramadhan membuat orang lebih cepat pulang ke rumah dan merayakan perjamuan buka puasa bersama keluarga. Saat pandemi begini tentunya banyak yang merasakan hampir setiap hari buka puasa bersama itu karena pembatasan sosial skala besar yang dilakukan pemerintah membuat orang-orang tidak membuat kultur buka puasa bersama di kafe-kafe atau warung makan. Sedikit merugikan beberapa pihak, ya begini lah kondisi Ramadhan saat pandemi semuanya kalah oleh pandemi dan tidak semua percaya oleh pandemi.

Ini bukan tulisan sejarah, ini hanyalah tulisan yang tidak jelas dan tidak usah dibaca juga tidak apa-apa. Karena isinya juga tidak menggunakan pisau analisis filosofis bahkan yuridis pun tidak ada. Tulisan ini juga tidak menggunakan kaidah penulisan yang baik dan berbenar manapun. Tulisan ini juga bukan hiburan.
Tapi yang pasti, aku bersaksi bahwa semua orang akan berbuat salah lagi setelah ramadhan dan akan rindu lagi ramadhan. Sejatinya atau honestly, in my opinion ya.

Esensi dari berpuasa Ramadhan itu bukan saat Ramadannya tapi ketika setelah ramadhan kita masih menjaga implementasi nilai-nilai ramdhan. Sayangnya sebagian orang akan mabuk bersama teman-teman membicarakan hal yang SNOB, Edgy dan artsy, pergi ke pelacuran dan menyiksanya menganggap mereka seperti budak, bahkan semua orang akan membakar hutan lagi, memboros listrik padahal batu bara terus dieksploitasi. Duniawi tidak akan pernah menjadi surgawi kalau masih ada jiwa berengsek dalam diri kita. Aku mengingatkan diriku agar menghadapi kebrengsekan ini dengan memberontak, seperti Albert Camus.  Memberontak yang patut diberontak.

Ramdhan yang tidak dimenangkan belum kalah, aku akan mengejar ramadhan dengan cara-cara yang sosialis jalankan. Tetap berada di jalan sunyi seperti sufi dan tetap dalam hingar bingar kota. Ramadhan di kota urban tidak lepas dari baju baru dan gengsi akibat kapitalisme menuntut semua orang menjadi hedonisme saat lebaran. Lebaran untuk apa dirayakan dengan gema takbir tapi redup dalam hati. Nyaring terdengar di telinga tapi di hati nyaring terdengar duniawi-duniawi beberapa kali.

Mimpi buruk ramdhan kali ini tidak hanya kolesterol naik, uang habis, utang bertambah, tapi juga kewaspadaan terhadap manusia lain. Homo homimi lupus itu nyata, lebih nyata dari corona. Perbaiki diri, terus membaca saat subuh adalah hal baik yang aku lakukan saat Ramadan. Semoga aku bisa menerepkannya setelah ramadhan. Pandemi akan kita menangkan dengan cara dihentikan bukan seperti perdamaian dengan cara perperangan.

Ini seperti AUFKLARUNG, karena ini masa peralihan ke new normal. Itu aja. Karena aku membayangkan akan ada masanya manusia bertahan hidup dengan produksi kain berlebih. Semoga nanti sampah kain tidak seperti plastik dan kerang pada saat kejokenmodiner. Tapi memang inilah peralihan, pencerahan. Semuanya harus menuju kepada kehidupan baru, menuju masa depan. Setelah ramadhan, kita akan sekolah, bekerja kembali ditengah pandemi Covid-19 yang dimungkinkan tidak akan hilanh. Inilah babak baru kehidupan manusia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun