Hutan konservasi Ratatotok, yang mestinya menjadi benteng terakhir keanekaragaman hayati, kini tengah menghadapi ancaman serius. Aktivitas tambang emas ilegal yang kian marak telah mengubah wajah hutan salah satunya menyebabkan pepohonan hilang, tanah penuh lubang bekas galian, hingga aliran sungai yang tercemar bahan kimia berbahaya. Tambang ini bukan hanya sekadar perampasan sumber daya alamnya saja, adanya aktivitas pencemaran lingkungan dimana para penambang menggunakan merkuri dan zat kimia lain yang mencemari sungai serta merusak lahan pertanian warga. Konsekuensinya, masyarakat terancam kehilangan sumber air bersih, sementara satwa pun kehilangan habitat alaminya.
Lebih ironis lagi, sorotan justru mengarah pada lemahnya pengawasan pemerintah. Dinas Lingkungan Hidup (DLH), yang semestinya menjadi garda terdepan dalam perlindungan lingkungan, dituding abai. Bahkan, muncul dugaan adanya praktik upeti dari penambang ilegal kepada oknum pejabat. Jika benar, maka persoalan Ratatotok bukan hanya soal tambang liar, melainkan juga soal runtuhnya integritas institusi negara.
Kerusakan ekologis yang terjadi berdampak langsung pada kehidupan sosial masyarakat. Warga kehilangan lahan penghidupan, konflik horizontal antar penambang kerap terjadi, dan ancaman penyakit akibat paparan limbah tambang semakin mengkhawatirkan. Ironisnya, di tengah kerusakan yang meluas, keuntungan besar justru dinikmati oleh segelintir pihak yang bermain di balik layar, sementara masyarakat lokal harus menanggung beban kerugiannya.
Mengatasi persoalan tambang ilegal di Hutan Konservasi Ratatotok tidak cukup hanya dengan menutup lokasi tambang. Pemerintah perlu bertindak tegas dengan menindak para pelaku secara hukum, sekaligus mengusut dan menjerat oknum yang terlibat dalam praktik pembiaran atau suap. Pengawasan juga harus diperkuat, tidak hanya melalui patroli rutin di lapangan, tetapi juga dengan pemanfaatan teknologi seperti citra satelit dan drone untuk memantau aktivitas secara berkala. Langkah-langkah ini penting untuk memastikan perlindungan lingkungan berjalan efektif dan tidak sekadar reaktif.
Di sisi lain, upaya mengatasi tambang ilegal harus diiringi dengan pemberian alternatif mata pencaharian yang berkelanjutan bagi masyarakat sekitar. Banyak warga yang terlibat dalam aktivitas tambang bukan karena pilihan, melainkan karena keterbatasan ekonomi dan minimnya akses pekerjaan lain. Untuk itu, pengembangan ekowisata, sistem agroforestri, serta pemanfaatan hasil hutan non-kayu seperti madu, rotan, dan tanaman obat, perlu didorong sebagai solusi jangka panjang. Dengan membuka peluang ekonomi yang ramah lingkungan dan sesuai dengan potensi lokal, masyarakat dapat terlepas dari ketergantungan pada tambang ilegal dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian hutan.
Kasus Ratatotok adalah peringatan keras bagi tata kelola lingkungan di Indonesia. Jika kawasan konservasi saja gagal dijaga, bagaimana dengan hutan-hutan lain yang statusnya lebih lemah? Saatnya Ratatotok dijadikan momentum pembenahan, agar hutan tidak hanya menjadi warisan di atas kertas, tetapi sungguh menjadi penopang kehidupan generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI