Mohon tunggu...
mochamad irfansyah
mochamad irfansyah Mohon Tunggu... -

The Proletar

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Renaisance HMI : Upaya Kembali ke Khittoh 1947

1 April 2015   12:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:41 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kader HMI yang sadar akan fungsi dan tanggungjawabnya sebagai kader umat dan bangsa”

(Refleksi : LK 1 HMI Komisariat Ilmu Budaya Cabang Surabaya 27-29 Maret 2015)

Disetiap bangsa, buah pikiran kaum terpelajar dan gaya hidup para pemimpin merekalah yang membentuk keyakinan masyarakat dan pemikiran setiap orang melalui pengaruh langsung yang mereka miliki. “Quit custodiet ipsos custodes? Corruptio optimi pessima”. Jika golongan penguasa merupakan wakil rakyat dan pembimbing masyarakat mengajarkan kecabulan, korupsi, politik praktis dan lain sebagainya, lantas apa yang bisa diharapkan dari golongan orang-orang yang lebih rendah darinya? Jika garam telah kehilangan rasanya, lantas siapa yang akan memberikan rasa kepada masyarakat?

Kondisi yang sama mungkin (niscaya) juga kita temui pada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) hari ini. Jikalau tahun 40’an panglima Sudirman sempat membanggakan kiprah HMI dengan menyebutnya Harapan Masyarakat Indonesia, lantas apa yang bisa kita banggakan di kondisi HMI yang sekarang ini? HMI yang harusnya menjadi poros pergerakan intelektual di kalangan mahasiswa, akhirnya rela tergerus oleh manisnya gula yang membuat dirinya tak asin lagi sebagai garam yang beryodium. Mungkin HMI sedang terbuai oleh indahnya hawa-nafsu yang telah diwariskan dari para alumnusnya. Memang, Hawa-nafsu adalah sifat alami dalam diri manusia. Namun segala contoh yang diberikan oleh para alumnus dan kader HMI sekarang, tak lebih sebagai pengumbar hawa-nafsu yang berlebih dan telah melanggar semua aturan-aturan etis maupun moral diri HMI. Kader yang tumbuh besar di lingkungan yang memaklumkan ego dan kesenangan diri tanpa terkendali akan menganggap segala kebebasan berorganisasi semacam ini sebagai pemakluman tanpa batas. Tidak heran apabila para kadernya memaklumkan bahkan memperjuangkan makna “pragmatisme berorganisasi”, “politik praktis”, “politik main tikung, sementara hal yang lebih penting seperti penanaman moral dan etika, pemahaman NDP, militansi sebagai intelektual organis dan lain sebagainya nyaris tak tersentuh dan tersarankan oleh para alumnus dan kadernya

Dalam kondisi yang semacam ini, kesucian dan kebersihan diri sebagai kader berkualitas (benar-benar HMI) yang loyal dan militan seolah tak akan pernah memiliki tempat. Karena struktur HMI telah mempersilahkan segala bentuk nepotisme dan pragmatisme dalam berorganisasi, sehingga pertimbangannya bukan lagi siapa yang benar-benar ingin mengamalkan mission HMI dan NDP-nya, namun lebih kepada siapa yang sejalan dan tak banyak tanya, siapa yang cantik dan rupawan wajahnya, ataupun siapa yang dekat dengan kita. Hal ini mengakibatkan gerakan kader di HMI tak lebih dari gerakan pesolek, dengan gesitnya memamerkan keangkuhan agar dipandang paling cantik dan paling rupawan. Kondisi demikian mungkin bisa kita temui di setiap ajang pencalonan pejabat kampus semacam ketua BEM ataupun DLM. Kontestasi kekuasaan semacam BEM dan DLM yang seharusnya menjadi ladang pertarunggan intelektual dan kualitas para calon kader, kini telah berubah danlebih berkesan menjadi panggung yang mempertontonkan keangkuhan dan fulgaritas intelektual yang kosong.

Fenomena-fenomena di HMI yang semacam ini, merupakan hasil dari tergelincirnya emosi para kader, yang tercermin dalam setiap tindak dan tanduknya, menunjukan bahwa HMI (kader) telah gagal mempertahankan diri dari ganasnya peradaban modern yang memperlakukan manusia sebagai gerigi dalam sebuah mesin. Yakni kader HMI yang pasti adalah representasi dari manusia takkan mampu mengobati kerinduan hati “HMI sebagaimana HMI” yang memiliki sensitivitas spiritual dan sentimen manusiawi. Bertambahnya jumlah kriminal maupun kriminalisasi yang dilakukan alumnus(di pemerintahan) maupun kader HMI setidaknya menjadi bukti hal tersebut.

Inilah kondisi HMI yang saya tafsirkan dengan mata dan akal terbatas saya, khususnya gerakan HMI di Surabaya. Tidak menutup kemungkinan HMI di Indonesia belahan lain telah berlepas diri dari tuduhan-tuduhan yang saya sematkan diatas. Pada dasarnya tulisan ini hendak ingin mengusulkan tentang betapa pentingnya menanamkan gerakan moral kembali ke khittoh 1947, dimana saat itu tendensi para kader HMI hanya berucap mengenai permasalahan moral kebangsaan, dan islamisasi kultural. Bisa dikatakan sangat relevan apabila kita melihat situasi dan kondisi bangsa saat ini. Dimana moralitas tak lagi penting dan penanaman mental yang baik tak lagi diutamakan, untuk membuktikannnya cukuplah surat kabar senin sampai minggu yang lagi sholeh-sholehnya istiqomah menampilkan wajah Indonesia dalam balutan penyimpangan sosial, remaja ataupun elit pemerintahannya.

HMI bukanlah organisasi politik, melainkan organisasi pengkaderan yang seharusnya mementingkan mekanisme pembelajaran dan pengajaran terhadap kadernya, sehingga arti penting “Militansi” harusnya bisa melintas dari alam mental dan alam praksisnya. Dan saya rasa NDP dan Mission HMI sudah cukup untuk dijadikan pegangan berorganisasi, hanya saja sekarang NDP dan Mission telah ditelantarkan dan dibuang dalam ruang hampa tanpa ada udara dan cahaya yang membalutinya.

Mungkin kondisi HMI saat ini saya relevankan melalui perkataan Jendral Dwight dalam memandang Dunia. Jendral Dwight D. Eisenhower, sebagai Presiden AS :

Masyarakat kita yang makmur terjebak dalam landasan moral yang rapuh. Kita menggapai bulan tapi mencemari bumi Demi menyembuhkan krisis moral yang merusak dunia kita, diri kita masing-masing hanya perlu mengkoreksi diri sendiri. Andaikan diri kita masing-masing mau mendengar suara jiwa di lubuk hati kita yang paling dalam, kita akan merasakan banyak kebersahajaan yang mendasar, seperti kebaikan, kesucian, kepedulian, cinta-kasih, integritas, semuanya adalah kekayaan diri kita yang teragung dantak ternilai harganya. Carilah kemakmuran dalam hal ini, maka segala tragedi kemakmuran materi yang disalahgunakan akan berakhir bahagia bagi. semuanya

Tak dapat dipungkiri, HMI merupakan organisasi mahasiswa paling besar dan tertua di Indonesia, yang mengemban visi dan misi sangat mulia, dan beruntunglah orang ataupun kader yang mau mementingkan diri untuk masuk di HMI dan rela meluangkan waktu mempelajari arti penting ke-ada-an dan ke-apa-an HMI. Bagi saya HMI akan menjadi wadah yang sangat tepat sekaligus tidak tepat.Sangat tepat apabila kader yang tergabung di HMI mengetahui ke-ada-an, ke-apa-an dan kemestian HMI dan menjalankannya. Tidak tepat apabila kader yang bergabung, tak mau meluangkan diri mempelajari ke-ada-an dan kemestian HMI, hanya ke-apa-annya saja yang dibaluti tragedi fenomenal kultural HMI, kader yang semacam inilah yang berbahaya bagi keberlangsungan pengkaderan di HMI.

Untuk mencabut segala akar tragedi, pembelajaran pragmatisme semu, kemerosotan intelektual, kemerosotan aktivisme dalam bergerak pada HMI (Khususnya HMI Cabang Surabaya), satu-satunya cara dan harapan HMI dalam menghadapi permasalahan aktivisme di dunia modern saat ini adalah kembali pada tekadkhittoh 1947, dimana pada saat itu kader HMI sadar akan fungsi dan tanggungjawabnya dalam mengemban organisasi keislaman. Selanjutnya yang harus dirubah adalah pola pikir manusianya. HMI sebagai organisasi pengkaderan harusnya tidak punya pilihan lain selain menjadi organisasi pencerahan yang senantiasa menghalau ‘mendung gelap’ hawa nafsu (harta dan tahta) yang menyuramkannya. Kader HMI harus memusnakan segala macam belenggu hawa nafsu yang mengikat jiwanya. Kader HMI harus membasmi segala kerusakan dan membersihkan kotoran yang membelenggu manusia (Indonesia) di lembah kegelapan moral, dengan mengadakan revolusi mental, menyaring segala pemikiran dan pola hidup. Caranya yaitu dengan lagi mementingkan NDP maupun Mission HMI, dan akidah-akidah islam sesuai Al-quran dan Hadist yang memang sudah menjadi karakteristik HMI yang mulia. Hanya dengan inilah para kader HMI bisa meraih kembali kesejatian HMI sebagaimana HMI dan meresapi anugerah intelektual dan spiritual yang menjadi fitrah pergerakan HMI, yang memang sudah mengakar dan menjadi karakteristik eksotis HMI.


Oleh Mochamad Irfansyah (KaBid PTKP HMI Komisariat Ilmu Budaya Airlangga)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun