"Semoga hari Anda menyenangkan ya," ucap Ibu paruh baya warga setempat, setelah dengan sabar menjelaskan arah menuju The Little Mermaid, salah satu pusat atraksi turis di Kopenhagen, Denmark.
Saat itu, saya sedang kebingungan di daerah pusat kota Kopenhagen. Area tersebut mungkin blank spot sehingga google map saya tidak berfungsi.
Ibu ini tidak hanya berhenti sebentar untuk memberikan petunjuk, tetapi benar-benar memastikan saya memahami rute yang harus dilalui. Dia bahkan langsung menutup teleponnya berpamit dengan yang sedang ia telpon, untuk menolong saya, padahal saya rela menunggu.
Momen sederhana ini menjadi cerminan dari apa yang saya rasakan selama beberapa hari berada di Kopenhagen - sebuah kehangatan yang tulus, yang mungkin menjelaskan mengapa kota ini konsisten menduduki peringkat teratas sebagai salah satu happiest cities in the world.
Berbagai riset dan situs perjalanan memang telah menempatkan Kopenhagen dan kota-kota lain di Denmark dalam daftar kota yang paling memberikan kebahagiaan bagi penduduknya. Namun, apa sebenarnya ukuran kebahagiaan itu? Dari perspektif siapa kita melihatnya?
Warga lokal Denmark yang saya jumpai menyebutkan bahwa mereka merasa pemerintahan benar-benar menjaga kemakmuran mereka. Keterkaitan antara well-being dan kepercayaan terhadap pemerintah begitu kuat. "They feel that the government is really taking care of them," kira-kira demikian hasil beberapa riset yang muncul belakangan ini.
Memang, kita tahu bahwa Denmark bukanlah negara yang murah dari segi cost of living. Bahkan termasuk salah satu yang paling mahal di Eropa. Namun, tingginya biaya hidup ini diimbangi dengan pendapatan rata-rata yang juga tinggi, dan yang terpenting tersedianya fasilitas publik yang luar biasa.
Saya menyaksikan sendiri bagaimana warga Denmark membayar pajak yang tinggi, namun mereka melihat langsung hasilnya: pendidikan gratis hingga tingkat magister, fasilitas kesehatan yang gratis, transportasi umum yang efisien, taman dan ruang rekreasi yang dapat dinikmati secara cuma-cuma. Semua ini terjadi karena tingkat kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah dan sistem yang berjalan.
Selama berada di Kopenhagen, saya merasakan nuansa yang berbeda -- santai namun produktif, ramah namun tidak berlebihan, dan ada warna aristokrat yang kental namun tidak sombong. Pengamatan kecil-kecil ini menjadi puzzle yang semakin melengkapi pemahaman saya tentang kebahagiaan versi Denmark.
Di dalam restaurant, saya menyaksikan bagaimana warga lokal bercengkrama dengan tenang, tidak terburu-buru. Di transportasi umum, keheningan yang tercipta bukanlah karena ketidakpedulian, tetapi karena saling menghormati ruang pribadi masing-masing. Para petugas yang saya temui -- baik di stasiun, toko, maupun tempat wisata -- menunjukkan keramahan yang tulus, bukan sekadar profesionalisme.