Tanggapan atas Tulisan Dr. Rendra: Indonesia di Persimpangan: Kepemimpinan, Tantangan, dan Harapan Baru - LANSKAP SULAWESIÂ
Tulisan Dr. Rendra Anggoro berjudul "Indonesia di Persimpangan: Kepemimpinan, Tantangan, dan Harapan Baru" memberikan refleksi penting tentang kondisi bangsa pada usia delapan dekade lebih kemerdekaan. Pandangan beliau bahwa Indonesia sedang berada di persimpangan sejarah memang tidak terbantahkan. Namun, refleksi tersebut perlu ditajamkan: bukan sekadar tentang peluang dan harapan, tetapi juga tentang kenyataan pahit bahwa bangsa ini terlalu sering terjebak dalam lingkaran kepemimpinan yang lebih sibuk mengelola kekuasaan daripada melayani rakyat.
Kepemimpinan yang Terjebak dalam Romantisme Pembangunan
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia telah meraih kemajuan di berbagai bidang. Infrastruktur dibangun, teknologi berkembang, dan ekonomi tumbuh. Akan tetapi, ada kecenderungan romantisasi pembangunan fisik tanpa keberanian menilai apakah ia sungguh menjawab kebutuhan rakyat. Jalan tol, bandara, atau gedung megah sering dipamerkan sebagai simbol keberhasilan, sementara di baliknya masih ada ketimpangan sosial yang mencolok, kualitas pendidikan yang timpang, dan layanan kesehatan yang jauh dari kata merata.
Inilah titik lemah kepemimpinan kita: keberhasilan diukur dari apa yang tampak, bukan dari kualitas hidup rakyat sehari-hari. Sehingga, apa yang disebut sebagai "kemajuan" seringkali hanyalah ilusi kosmetik pembangunan. Kritik Dr. Rendra tentang politik transaksional dan logika kekuasaan menemukan konteksnya di sini: kita telah terlalu lama terjebak pada politik jangka pendek, dengan kepemimpinan yang sekadar ingin dikenang melalui proyek-proyek monumental, bukan lewat reformasi struktural yang lebih substansial.
Politik Transaksional dan Demokrasi yang Rapuh
Salah satu titik tajam dari tulisan Dr. Rendra adalah sorotan terhadap praktik politik transaksional. Ini adalah penyakit kronis demokrasi kita. Demokrasi elektoral yang seharusnya melahirkan pemimpin terbaik justru sering menghasilkan pemimpin kompromis, tunduk pada kepentingan oligarki, dan jauh dari etika kepemimpinan visioner.
Di sinilah persoalannya: bagaimana mungkin kita berharap pada kepemimpinan strategis dan etis jika sistem politik yang melahirkannya dikuasai oleh modal besar dan transaksi pragmatis? Harapan akan lahirnya pemimpin berintegritas sering kandas karena proses politik sejak awal sudah cacat. Kita sedang berjalan di jalur demokrasi prosedural, tetapi kehilangan ruh demokrasi substantif yang berpihak pada rakyat.
Kritik ini penting ditegaskan: bangsa ini membutuhkan kepemimpinan yang berani melawan arus politik uang, berani menolak intervensi oligarki, dan berani menempatkan kepentingan rakyat di atas kalkulasi elektoral. Tanpa keberanian itu, kepemimpinan transformatif hanya akan menjadi jargon akademis yang tidak pernah menemukan wujud.
Investasi pada Manusia yang Terlupakan
Tulisan Dr. Rendra menekankan pentingnya investasi pada manusia melalui pendidikan, kesehatan, dan penguasaan teknologi. Gagasan ini tepat, tetapi problemnya jauh lebih serius. Indonesia masih terjebak pada orientasi pembangunan ekonomi makro tanpa perhatian serius pada kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan kita masih didominasi pendekatan formalitas, bukan transformasi. Sistem kesehatan masih timpang antara kota besar dan pelosok. Penguasaan teknologi digital hanya dikuasai sebagian kalangan, sementara sebagian besar rakyat masih menjadi konsumen pasif. Di sinilah kritik mendasar perlu diajukan: apakah para pemimpin kita sungguh menempatkan pembangunan manusia sebagai prioritas, ataukah hanya menjadikannya jargon dalam pidato?
Realitas menunjukkan bahwa anggaran pendidikan besar tidak otomatis berbanding lurus dengan kualitas. Anggaran kesehatan meningkat, tetapi kesenjangan pelayanan tetap menganga. Di titik ini, kepemimpinan nasional perlu dikritik karena gagal menyusun strategi yang konsisten dan berkelanjutan.
Masyarakat Sipil dan Kesadaran Kolektif
Tulisan Dr. Rendra mengajak kita menuntut lahirnya pemimpin visioner dan berintegritas. Namun, harapan itu tidak bisa hanya digantungkan pada figur pemimpin. Masyarakat sipil harus bangkit dengan kesadaran kolektif untuk tidak lagi permisif terhadap politik transaksional. Selama rakyat masih mudah dibeli dengan uang, sembako, atau janji kosong, maka kita hanya akan melahirkan pemimpin yang lahir dari transaksi, bukan dari aspirasi.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak pernah lahir dari sikap menyerah. Tetapi, apakah rakyat hari ini berani melawan budaya permisif politik uang? Apakah kita cukup kritis untuk menolak kepemimpinan kosmetik pembangunan? Di sinilah letak persoalan sebenarnya. Kepemimpinan transformatif tidak akan lahir di ruang hampa; ia membutuhkan rakyat yang sadar, kritis, dan berani menuntut perubahan.
Penutup: Jalan Sunyi Menuju Kepemimpinan Visioner
Tulisan Dr. Rendra memberi optimisme bahwa persimpangan sejarah ini bisa menjadi titik awal kebangkitan baru. Namun, saya ingin menambahkan catatan kritis: jalan menuju kepemimpinan visioner adalah jalan sunyi, penuh rintangan, dan membutuhkan keberanian kolektif.
Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin karismatik; ia membutuhkan pemimpin yang mampu melawan arus pragmatisme politik, menolak dominasi oligarki, dan berani menegakkan keadilan sosial. Kita tidak bisa lagi puas dengan pembangunan yang bersifat kosmetik. Kita membutuhkan lompatan kualitas manusia, demokrasi yang berintegritas, dan kepemimpinan yang berani meletakkan kepentingan jangka panjang di atas kalkulasi elektoral.
Pada akhirnya, persimpangan sejarah ini adalah ujian keberanian: apakah bangsa ini siap melahirkan kepemimpinan yang benar-benar transformatif, atau hanya akan melanjutkan siklus lama yang penuh kompromi. Jika kita gagal menjawab tantangan ini, maka Indonesia akan terus berjalan di tempat, menjadi bangsa besar dengan cita-cita luhur, tetapi tanpa arah yang jelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI