Pendidikan kita masih didominasi pendekatan formalitas, bukan transformasi. Sistem kesehatan masih timpang antara kota besar dan pelosok. Penguasaan teknologi digital hanya dikuasai sebagian kalangan, sementara sebagian besar rakyat masih menjadi konsumen pasif. Di sinilah kritik mendasar perlu diajukan: apakah para pemimpin kita sungguh menempatkan pembangunan manusia sebagai prioritas, ataukah hanya menjadikannya jargon dalam pidato?
Realitas menunjukkan bahwa anggaran pendidikan besar tidak otomatis berbanding lurus dengan kualitas. Anggaran kesehatan meningkat, tetapi kesenjangan pelayanan tetap menganga. Di titik ini, kepemimpinan nasional perlu dikritik karena gagal menyusun strategi yang konsisten dan berkelanjutan.
Masyarakat Sipil dan Kesadaran Kolektif
Tulisan Dr. Rendra mengajak kita menuntut lahirnya pemimpin visioner dan berintegritas. Namun, harapan itu tidak bisa hanya digantungkan pada figur pemimpin. Masyarakat sipil harus bangkit dengan kesadaran kolektif untuk tidak lagi permisif terhadap politik transaksional. Selama rakyat masih mudah dibeli dengan uang, sembako, atau janji kosong, maka kita hanya akan melahirkan pemimpin yang lahir dari transaksi, bukan dari aspirasi.
Refleksi 80 tahun kemerdekaan harus menjadi pengingat bahwa bangsa ini tidak pernah lahir dari sikap menyerah. Tetapi, apakah rakyat hari ini berani melawan budaya permisif politik uang? Apakah kita cukup kritis untuk menolak kepemimpinan kosmetik pembangunan? Di sinilah letak persoalan sebenarnya. Kepemimpinan transformatif tidak akan lahir di ruang hampa; ia membutuhkan rakyat yang sadar, kritis, dan berani menuntut perubahan.
Penutup: Jalan Sunyi Menuju Kepemimpinan Visioner
Tulisan Dr. Rendra memberi optimisme bahwa persimpangan sejarah ini bisa menjadi titik awal kebangkitan baru. Namun, saya ingin menambahkan catatan kritis: jalan menuju kepemimpinan visioner adalah jalan sunyi, penuh rintangan, dan membutuhkan keberanian kolektif.
Indonesia membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin karismatik; ia membutuhkan pemimpin yang mampu melawan arus pragmatisme politik, menolak dominasi oligarki, dan berani menegakkan keadilan sosial. Kita tidak bisa lagi puas dengan pembangunan yang bersifat kosmetik. Kita membutuhkan lompatan kualitas manusia, demokrasi yang berintegritas, dan kepemimpinan yang berani meletakkan kepentingan jangka panjang di atas kalkulasi elektoral.
Pada akhirnya, persimpangan sejarah ini adalah ujian keberanian: apakah bangsa ini siap melahirkan kepemimpinan yang benar-benar transformatif, atau hanya akan melanjutkan siklus lama yang penuh kompromi. Jika kita gagal menjawab tantangan ini, maka Indonesia akan terus berjalan di tempat, menjadi bangsa besar dengan cita-cita luhur, tetapi tanpa arah yang jelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI